SF : 06

79.1K 5K 71
                                    


🍀🍀🍀🍀

Asa menggeliat kecil, perlahan mata bulatnya mengerjap lucu. Menatap langit langit kamar, daster tidurnya sudah tersingkap, memperlihatkan celana pendeknya.

"Pempes na penuh." Gumamnya. Dengan susah payah, Asa duduk tegak, mengucek matanya. Sama sekali tidak menangis meski tidak menemukan sosok ibunya.

Dengan pelan, Asa turun dari tempat tidur, berjalan pelan menuju kamar mandi yang tidak tertutup rapat. Di dalam sana, Asa membuka celana pendeknya sendiri, menyimpannya pada tempat kering kemudian melepas popoknya yang sudah penuh. Matanya menatap sekeliling kamar mandi, tersenyum senang saat menemukan tempat sampah di sana. Kaki mungil Asa masih berjalan pelan, lantainya sedikit basah, jadi dia tidak berjalan cepat, takut terjatuh.

"Pempes na dah penuh. Asa buang kamu ya, endak enak pake kamu talau dah penuh." Asa berujuar sendiri, tangannya meraih celana pendeknya dan memakainya.

Bersenandung kecil, Asa kembali ke tempat tidur, bukan untuk kembali tidur, melainkan untuk mengambil boneka kucingnya. Asa mengrutkan keningnya, menatap pada pintu kamar yang di tutup rapat.

Tubuh mungilnya sama sekali tidak bisa mencapai gagang pintu, yang bisa di lakukan hanyalah berteriak manggil sang Ibu.

"MAMA NA ASA, INI ASA DAH BANUN. MAMA." Asa mengetuk pintu pelan, takut kalau mengetuk keras tangannya akan terluka.

"MAMA OH MAMA."

Pintu terbuka lebar, menampilkan wajah Bagas yang sudah segar. Membuat Asa mengerutkan keningnya. "Loh, Asa pandilnya Mama tok. Api napa Om Agas yang datang ?"

Senyum cerah Bagas luntur seketika, seperti kedatangannya saja tidak diharapkan.

"Kamar Om Bagas kan dekat sama kamarnya Asa, tadi waktu Asa teriak Om dengar, jadinya Om samperin Asa di sini."

"Mamaku mana ?"

"Di dapur sama nenek, masak untuk sahur."

Asa mengulurkan tanganny pada Bagas, meminta untuk di gendong yang segera dilakukan oleh Bagas. "Mama masak sayul ?"

Bagas berjalan santai, sesekali mencium Asa. "Sahur. Kan besok puasa."

"Papaku puasa ?"

Menanggapi pertanyaan keponakannya, Bagas hanya mengangguk singkat. Saat tiba di dapur, Bagas menurunkan Asa, memperhatikan Asa yang berjalan riang ke arah Adel.

"Mama, tadi Asa buka pempesna sendili. Asa buang pempesna di tempat sampah."

Pamer Asa begitu berhasil mencuri perhatian ibunya.

"Wah, pintarnya anak Mama. Sini cium dulu."

"Mau tefon Papaku." Ujar Asa begitu usai memberikan ciuman pada Adel. Adel yang mendengarnya hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dari kemarin bahkan menjelang tidur, Asa tidak hentinya menghubungi ayahnya via telepon.

"Minta tolong Om Bagas, ya. Mama bantu nenek masak dulu."

Tanpa kata, Asa berlari keluar dapur. Mencari keberadaa Bagas yang meninggalkannya begitu saja.

"OM AGAS, PINJAM HAPE, MAU TEFON PAPA."

Adel dan Bu Ifa yang mendengar teriakan itu hanya tersenyum geli.

"Gitu Del kalau dia sama Damar ?" Tanya Bu Ifa.

Adel mengangguk. "Iya Ma. Gak bisa ditinggal lama dia sama Mas Damar. Mau tidur aja kudu sama bapaknya."

.
.
.

"Papa, Mama sama Nenek masak buat sayul. Katana mau puasa. Papa sudah masak sayul ?"

Bagas hanya bisa mengelus dada. Lagi lagi dirinya menjadi penonton adegan melepas rindu ayah dan anak. Dari kemarin Asa sangat lengket padanya, apalagi jika bukan untuk dipinjamkan HP untuk menghubungi ayahnya.

"Habis dah pulsa gua." Gumam Bagas, membuat Asa yang berada di dekatnya melirik.

"Etdah, lirikannya."

"Papa, Om Agas malah malah Asa pake hape na. Katana Om Agas, pusa na abis. Om Agas pelit yo Papa ?"

Mata Bagas membelalak. Bisa bisanya keponakan ucul kesayangannya mengadukan hal yang tidak tidak.

"Papa, matana Om Agas lotot-lotot sama Asa. Anti kalo Papa pulang sini, Om Agasna dimalahi ya Papa ?"

Seumur hidup Bagas menjadi seorang Om dari Asahila Tiara Abimanyu. Baru kali ini dia meruntuki kecerewetan keponakannya.

"Om Bagas gak marah Asa sayang." Ujar Bagas sepalan dan selembut mungkin. Salah sedikit saja, bisa diadukan lagi dia.

Dan voila..... terbukti.

"Papa, Om Agas pandil Asa sayang sayang. Endak boleh kan Papa ? Anak tecil endak boleh sayang sayang kan Papa ?"

Bagas menyerah. Dia merebahkan dirinya kasar pada sofa yang di duduki Asa. Membuat sofa itu berguncang, tentu saja Asa yang menduduki sofa itu kaget. Dan.... mengadu pada ayahnya.

"Papa Om Agas gelak gelak. Asa ampil jatuh kana Om Agas. Nanti Papa cubit Om Agasnya ya ?"

"Ya Allah, dosa apa hamba sampai Engkau karunia keponakan yang seperti ini." Gumam Bagas meratapi nasibnya.

.
.

Pendek ???

Hehehehe.

Jangan lupa votenya yah. Comment juga biar saya semangat nulisnya.

See you next part.

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang