SF *SPESIAL PART*

43.8K 3.3K 97
                                    

Puasa pertama, Asa yang sudah amat antusias bangun lebih awal, bahkan lebih awal dari sang ibu yang hendak memasak untuk makan sahur. Dan bocah berisi itu kini tengah mengaduk susu coklatnya dengan pelan, ditemani Adel hang tengah menata makanan.

"sudah?" Tanya Adel yang merujuk pada kegiatan aduk mengaduk Asa.

Tanpa menoleh, Asa menggeleng pelan, sepelan tangannya menggerakkan sendok plastik di gelas putihnya.

"Ya cepat sedikit nak, habis itu bangunin Papa."

"Endak boweh cepat Mama, anti susuna tupah jadina basil. Asa endak ada duit nun bat beli susu."

Adel menggeleng gemas, ada saja alasan anaknya ini. Perasaan Asa selalu memiliki alasan untuk setiap perbuatannya yang lebih banyak membuat orang darah tinggi.

"Biar Mama yang aduk, Asa ke kamar terus bangunin Papa."

"Asa dah besal, dah bisa madili. Mama sana pi kamal, bangun Papa. Asa sini jaga ini makan bal endak di makan sama kucingna tangga saping lumah."

Nahkan, ada saja alasannya. Mereka saja baru pindah rumah, belum ramah tamah dengan tetangga sekitar. Tahu dari mana si Asa ini kalau tetangga mereka punya kucing.

Setelah menciumi wajah Asa dengan rasa gemas, Adel beranjak, lebih memilih membangunkan suaminya dari pada mendengar segudang alasan Asa yang lain. Ini adalah sahur pertama, Adel harap puasa mereka berjalan lancar.

.
.
.

Pukul 9 pagi, Adel dibuat geleng kepala saat memasuki kamar. Pasalnya putri cerewetnya masih bergelung di bawah selimut, tertidur amat nyenyak tanpa terganggu oleh sinar matahari yang menyusup lewat jendela.

Asa masih berada di alam mimpi, sebuah rekor terbaru. Dimana biasanya bocah itu sudah cantik di jam jam seperti ini.

"Ya Allah nak, anak gadis kok gini sih gaya tidurnya."

Adel menggeleng pelan, memperbaiki posisi sang putri, dimana balita menggemaskan itu tidur tengkurap dengan posisi kaki yang berada di atas bantal, sementara guling bocahnya itu sudah mendarat indah di atas karpet bulu.

Sedikit kebanggaan karena Asa sama sekali tidak rewel harus tidur sendiri, bahkan Asa akan merengek saat salah satu dari mereka menggodanya dengan hendak berbaring di atas ranjang kecilnya.

"Euungggh."

Sedikit senyum terbit saat mendengar lenguhan sang putri, apalagi bocahnya itu mengerjap dengan lucu, ditambah bibir mungil yang masih menguap. "Selamat pagi anaknya Mama." Sapa Adel, mengusap pipi gembil sang putri.

"Pagi Mamana Asa." Asa tersenyum kecil, berusaha mengumpulkan kesadarannya. Bocah itu berbaring telentang, menatap atap kamarnya dengan seksama.

"Asa puasa, Mama puasa?" Asa bertanya tanpa menatap sang ibu, seolah atap kamarnya jauh lebih menarik.

"Mama enggak, cuma Papa sama Asa yang puasa. Asa mau mandi?"

"Endak, Asa mo batu Mama beles lumah. Asa sapu-sapu, Mama cuci piling? Okey?"

Mendengar penawaran itu, Adel tersenyum gemas. Terharu dengan kalimat sang putri, tapi sayang, semua kegiatan bersih-bersihnya sudah selesai. Hanya tinggal memandikan sang putri saja yang belum.

"Mama sudah sapu-sapu, sudah cuci piring juga. Sekarang Asa mandi terus pakai baju."

Asa bangun dari posisi ternyamannya, menatap sang ibu dengan pandangan aneh. "Sudah besih-besih lumah?"

Melihat anggukan ibunya, Asa mencebik. Tidak terima semua pekerjaan sudah dilakukan sementara bocah itu sudah memiliki agenda bersih-bersih dalam otaknya. Adel yang menyadari itu tersenyum tipis, meraih tubuh berisi Asa untuk dia dudukkan disisinya.

"Nanti sore, temani Mama belanja. Terus masak untuk buka puasa? Asa mau buka puasa pakai apa?"

"Mama puasa?"

Menyadari ibunya menggeleng, Asa menatap penuh tanya. "Napa?"

"Di perutnya Mama ada adik bayi, jadi Mama enggak puasa dulu, nanti adik bayinya lapar, terus sakit." Adel harap penjelasannya bisa masuk diakal putri cerewetnya ini.

Asa terdiam sejenak, mentap perut buncit sang ibu. "Pelut Mama besal, ada adik babay na?"

Menjawab pertanyaan itu, Adel mengangguk singkat, membenarkan kalimat tanya putrinya.

"Pelut Asa besal, ada adek babaynya. Asa boweh makan? Asa lasa adek babayna lapal, minta susu cokat sama samay goleng."

Ya Allah, bisakah Adel menguyel pipi berisi Asa saat ini? Kenapa putrinya begitu menggemaskan dengan segudang alasan tidak masuk akalnya.

.
.
.

Tidak banyak yang dilakukan keluarga kecil Damar di hari pertama puasa, sebagian besar waktu mereka habiskan di depan layar TV, karena memang tidak ada kegiatan khusus, Damar sendiri sengaja mengambil cuti selama tiga hari.

"Mas, tadi Mama kasih kabar, katanya suruh buka puasa di sana."

Damar yang sedang memangku Asa menoleh sejenak, menatap wajah ayu istrinya. Merasa beruntung memiliki istri seperti Adel, ya istrinya yang dulu cerewet dan hobi berteriak kini sudah menjadi sosok ibu yang dewasa, bahkan Damar sudah jarang mendapati raut wajah Adel yang manja dan merengek seperti dulu.

"Mas mau buka di sana? Soalnya tadi Adel kasih tahu Mama kalau mau tunggu jawabannya Mas dulu."

"Kamu gak keberatan?"

Kening Adel bekerut bingung, tidak mengerti dengan maksud pertanyaan suami tampannya itu.

"Semenjak nikah, kita selalu buka puasa pertana ramadhan di rumah keluargaku, lebaran juga seringan di sana daripada balik ke Batu. Kamu gak ada masalah kalau apa-apa harus keluarga aku yang pertama?"

"Maksud Mas? Adel kurang ngerti."

Menyadari kedua orang tuanya sedang berbincang sesuatu yang cukup serius, Asa yang sejak tadi diam kini tampak anteng dan mengerti keadaan. Bocah itu sama sekali tidak merengek minta perhatian seperti biasanya.

"Mungkin kamu mau, sesekali buka puasa pertama di rumah orang tua kamu. Bukan selalu di rumah orang tua Mas, Mas ngerasa gak enak. Mungkin aja kamu rindu suasana buka puasa di Batu, karena semenjak menikah, kesannya Mas selalu gak ada waktu setiap kamu minta untuk nginap di Batu. Dan setiap nginap disana pun, gak pernah benar-benar Mas niatin, kita selalu nginap cuman kalau ada acara keluarga kamu aja."

Damar sadar akan hal itu, setiap Adel mengajak untuk berakhir pekan di Batu atau setidaknya berlibur di sana, Damar selalu punya kesibukan, lain halnya ketika itu urusan keluarga besarnya, sesibuk apapun Damar pasti dia akan menyempatkan waktu.

Damar juga menyadari perubahan istrinya itu, walau mencoba untuk bersikap biasa, nyatanya mengenal Adel sekian tahun membuat Damar peka. Istrinya merindukan suasana kota Batu.

"Mas suaminya Adel, kemana Mas pergi ya disitu juga Adel akan ikut sama Mas. Adel tahu kalau Mas sibuk, kita bisa ke rumah ibu sesempatnya Mas aja. Adel gak mau kalau harus repotin Mas, Mas sibuk kerja juga buat masa depan Adel sama anak-anak kita nanti."

Damar benar-benar bersyukur memiliki istri seperti Adel, ditambah buah hati seperti Asa juga calon anak-anak mereka yang akan lahir 2 bulan lagi.

.
.
.
.

Yoiii balik lagi, maaf kalau lama. See u next part. Jangan lupa kritik sarannya.

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang