Spesial Part

45.1K 3.4K 212
                                    

Ketenangan apa yang di harapkan ketika Luna dan Asa berada di tempat yang sama?

Tentu saja hanya ketenangan sesaat, masih jauh lebih baik dibandingkan dengan ketenangan semu. Saat ini saja, keduanya sudah seperti hendak saling mencemooh lewat tatapan masing-masing. Mereka bahkan baru saja tiba, tapi tatapan permusuhan itu sungguh membuat Damar menghela napas lelah.

"Luna, adiknya kok di tatap begitu, Asa belum turun loh dari mobil."

Hj.Maulina dengan cepat menegur cucunya itu, tapi sayang sekali, Luna saat berhubungan dengan Asa, maka bocah itu akan dua kali lebih menyebalkan dan pembangkang.

"Biar aja di tatap begitu, nanti matanya Luna di congkel sama Allah mau? Allah marah loh kalau makhluknya model begini."

Kali ini Fandy, ayah dari Luna sendiri yang menegur. Lelah juga sebenarnya, pasalnya setiap bertemu dengan Asa, Luna sama sekali tidak pernah bersikap santai. Sedangkan Asa yang merasa dibela sudah berada di atas angin, bocah gembil itu sudah senyum senyum tidak jelas saat tubuhnya di gendong oleh sang ayah untuk turun dari mobil.

"Dengal tu, Awoh malah talo matana lotot-lotot. Anti di cokel, endak bisa lihat."

"Papa punya uang banyak, nanti kalau matanya di congkel bisa beli mata baru." Balas Luna dengan nada sombongnya, membuat Damar dan Adel menahan tawa karena mendengar kalimat itu. Tapi lain halnya dengan Fandy yang justru menggeram kesal.

"Loh ya endak bisa tok. Endak ada lolang jual mata selti punyana Kak Una, mata ikan mo? Anti matana cecil selti upil."

Dan sesaat setelah mengatakan itu, semua orang dewasa harus menghela napas lelah. Pasalnya Luna melempari Asa sandal miliknya, dan tepat mengenai kepala Asa yang tertutup hijab merah.  Tapi Asa, bukannya menangis atau marah. Bocah gembil itu malah mengambil sandal yang dilemparkan padanya dan melemparkannya ke selokan depan rumah. Tentu saja sandal kecil itu hanyut karena terseret arus selokan yang cukup deras.

"SANDAL MAHAL LUNA."

"Tahu lasa."

Dan Asa melenggok masuk ke dalam rumah, terlalu santai untuk ukuran orang yang sudah melakukan tindakan kriminal terhadap sandal yang tidak bersalah. Meninggalkan Luna yang meratapi sandal mahalnya, yang sebenarnya hanya seharga rp5.000 di warung Pak Mamat.

.
.
.

"Asa puasa?"

Asa yang sedang kidmat menonton TV terlonjak kaget, tapi hanya sesaat sebelum dia melemparkan tubuh berisinya di pangkuan orang yang memberinya pertanyaan.

"Asa lindu. Om Lian lindu Asa sendak?"

Ya, orang itu adalah Rian. Si bungsu keluarga Sukri sekaligus Om kesayangan Asa, yang tidak pernah sekalipun mendapat kritik dari bocahnya Bapak Damar Abimanyu itu.

"Rindu dong, Asa sih jarang main kesini."

Dengan masih memeluk Rian, Asa tertawa pelan, perlahan kepalanya mendongan, menatap mata tajam Rian.

"Salang Asa dah sini, tindal sini juga sampe dedek babay na lahil. Om Lian senang? Anti bisa liat Asa seling-seling."

Rian tentu sudah mendengar kabar itu, kabar bahwa kakak dan kakak iparnya akan menetap di Batu untuk sementara waktu. Tapi mendengar langsung dari bibir cerewet keponakannya entah kenapa terdengar lebih wow, mungkin karena penjelasan Asa dengan kalimat belibetnya.

"Anti  Asa mani Om Lian jalan-jalan sini, anti kita pi sumaket, setolan sama walung tempat beli nasi dukduk itu. Tapina endak boweh jajak Kak Una."

Asa yang tadi riang gembira mendadak jadi kesal saat mengucapkan kalimat terakhir, masih terngiang saat Luna melemparinya sandal.

"Loh, Asa suka nasi uduk? Terus kenapa enggak boleh ajak Kak Lunanya?"

Rian sedikit heran, pertama tentang nasi uduk, yang memang Asa tidak begitu suka, bahkan enggan saat harus makan makanan satu itu. Dan yang kedua tentang Luna, pasti mereka bertengkar. Tapi bertengkar karena apa, Rian sangat penasaran. Karena tidak biasanya Asa pelit untuk urusan memoroti dompetnya.

"Endak suka sali, tapi nasi dukduk enak. Asa mo makan dikit aja. Tus tok, endak boweh ajak Kak Una kana Kak Una jahat. Tadi tok Kak Una lepal pala na Asa sama sandalna. Endak sopan, anti Awoh malah sama Kak Una. Tus, sandalna Asa buang di selok depan."

Rian tertawa sembari mencium gemas pipi gembul Asa, pertengkaran yang kesekian kali antara Asa dan Luna selalu berakhir tragis bagi benda-benda di sekitar kedua ponakannya itu. Pantas saja di depan rumah kakakknya tadi, dia hanya mendapati sebelah sandal hitam kesayangan Luna itu.

"Lain kali enggak boleh gitu ya. Kasihan kan kalau Kak Luna harus beli sandal lagi."

Mendengar hal itu, Asa menatap Rian penasaran.

"Kan Kak Luna sayang sama sandalnya. Sama seperti Asa yang sayang sama barang-barangnya Asa, Asa pasti sedihkan kalau barangnya di buang?"

Sebagai jawaban, Asa mengangguk pelan. Kini rasa bersalah mulai menyelimuti Asa, apalagi dia sempat mendengar teriakan Luna tadi.

"Sekarang, Asa ke rumahnya Om Fandy, minta maaf sama Kak Luna."

Menurut, Asa meminta untuk di turunkan, secepat yang dia bisa, Asa berlari keluar rumah dengan tujuan untuk meminta maaf. Dan tanpa mereka sadari, sedari tadi Damar memperhatikan mereka. Tersenyum samar saat mendapati cara adik iparnya menasehati Asa.

Bisa dia lihat dengan jelas bagaimana rasa sayang Rian untuk Asa, sama seperti Bagas terhadap Asa. Tapi cara mereka untuk menyampaikan jelas berbeda. Rian secara terang-terangan menunjukkan rasa sayangnya, lain dengan Bagas yang menunjukkannya lewat tingkah jahir terhadap Asa yang selalu membuat Asa kesal.

"Assalamualaikum Yan."

Rian tersentak kaget, menjabat tangan iparnya begitu sadar dari rasa terkejutnya.

"Waalaikumsalam Mas, udah dari tadi."

"Ya begitu. Habis dari mana?"

Dan begitulah percakapan mereka berlanjut. Rasa canggung perlahan mulai menghilang, digantikan dengan hangat antara saudara.

.
.
.

"Kak Una malah?"

Luna yang sejak tadi memakan anggur menatap adik sepupunya sekilas, sebelum kembali menikmati anggurnya. Membuat Asa kesal sendiri, pasalnya dia sudah meminta maaf bahkan mengikuti Luna kesana kemari, membuat Fandy dan Mai tertawa atas tindakan keduanya, bahkan kini mereka tengah mengawasi Luna dan Asa dari jarak yang tidak terlalu jauh dari kedua bocah itu.

"Ya endak boweh malah tok, Asa kan dah minta maap, ya halus di maap. Kak Una bamana sih." Asa duduk bersedekap, tapi hanya sesaat sebelum tangannya meraih sebutir anggur dan menyantapnya penuh nikmat.

"Kamu buang sandalnya Kak Una, aku malah lah. Itukan sandal mahal. Belinya jauh di sana, pakai mobil pelgi belinya."

Untuk informasi saja, sebenarnya saat proses pembelian sandal itu, Fandy dan keluarga kecilnya sedang dalam perjalanan untuk kembali kerumah. Dan secara kebetulan, Luna sedang kehausan, jadi mereka singgah di warung Pak Mamat untuk membeli air mineral, di sanalah Luna melihat dan membeli sandal hitam yang baru saja hanyut di selokan.

"Mahalna selti apa? Asa ada duit nun, anti sala beli Kak Una sandal. Janan malah lagi, tima maap na Asa."

Luna melotot tidak percaya, bagaimana bisa sepupunya mengatakan hal semudah itu untuk mengganti sandal mahalnya.

"Ehhh, uang tenun endak cukup. Kak Una belinya pakai uang melah."

Ya, dan untuk informasi kedua. Luna itu tidak ingin belanja menggunakan uang lain, harus uang berwarna merah.

Bocah yang pelit dan hemat seperti Luna, yang hanya tahu belanja dengan uang seratusan tentu akan berdebat jika dipertemukan dengan Asa. Bocah yang pelit dan boros, yang hanya tahu uang lima ribuan.

Entah perdebatan apa lagi yang akan terjadi selama beberapa bulan kedepan.





.
.

Balik lagi. Jangan lupa kritik sarannya yah. Kalau nemu typo harap segera di koreksi demi kenyamanan membaca bersama.

See you next part. Follow juga akun IG saya yah...  Unamenya YunShimm.

See u

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang