SF : 36

49.5K 3.2K 109
                                    

Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd.

Lantunan takbir subuh itu membangunkan Asa dari tidur lelapnya, rambut yang berantakan serta wajah khas bangun tidur adalah hal yang pertama terlihat dari seorang Asahila. Bibirnya bahkan masih sempat menguap lebar karena tak kuasa menahan kantuk.

Diedarkannya pandangan untuk meneliti kamar yang terasa asing baginya, tanpa orang tuanya, Asa sama sekali tidak rewel. Bahkan dia terkesan tenang.

"Kamana Papa."

Yah, dia berada di kamar lama sang ayah. Sejak kemarin Damar memang memboyong keluarga kecilnya untuk berkumpul dan menginap di rumah orang tuanya, Asa bahkan menjerit senang saat mengetahui bahwa mereka menginap, ditambah Bagas yang membelikannya banyak cemilan.

"Loh, anak cantiknya Mama sudah bangun ternyata."

Adel yang sudah rapi memasuki kamar seraya membawa roti dengan selai coklat, tidak lupa susu yang juga rasa coklat. Rasa kesukaan sang putri.

"Mama, olang dah Awawa bar. Asa endak sowat dul Ada ?"

Bibir Asa sudah mencebik, bersiap untuk menangis. Semalam sang Kakek sudah mengatakan bahwa selepas shalat hari raya, niscaya semua kesalahan akan di maafkan. Asa tentu sangat antusias, apalagi sejak beberapa hari lalu anak kecil itu cukup membuat gemas dengan segala tingkah nakalnya.

"Belum. Shalatnya nanti, sekarang Asa mandi dulu terus ganti baju."

"Baju balu. Asa mo na pake baju balu, talo endak pake baju balu. Asa endak mo mandi."

Jika saja tidak mengenal putrinya dengan baik, maka Adel sudah pasti memutar bola matanya gemas.  Maka dari itu, Adel hanya mengangguk, menyimpan nampan berisi makanan untuk Asa sebelum membawa sang putri menuju kamar mandi.

"Pintar anak Mama, sudah enggak pakai popok, enggak ngompol juga." Puji Adel dengan senyum.

Asa memang sudah tak memakai popok sejak beberapa minggu lalu, tapi tetap saja sesekali sang putri akan ngompol yang berujung dengan penyangkalan. Tapi lain dengan malam ini, Asa sama sekali tidak ngompol, celana tidur juga seprai sama sekali tidak menunjukkan tanda dan bau ompol.

"Katana Papa Asa dah besal, endak boweh kai popok lagi, endak boweh nopol nopol. Anti talau nopol endak cantik selti Mama."

Definisi cantik dan sempurna versi Asa itu simple. Hanya sang Ibu yang dijadikan patokan, entah Adel baru bangun tidur, lapar, marah, atau dalam ekspresi apapun. Adel selalu cantik di mata Asa. Jadi jika ingin cantik, harus seperti Mama.

"Iya, sudah besar. Bulan depan Asa sudah umur 3 tahun, jadi enggak boleh nakal lagi."

"Katana Om Dalin, anti sental agi, Asa jadi Ebak. Anti talau dedekna ante Pana dah lual dali pelut  Asa jadi Ebak. Pandilna anti Ebak Asa."

Asa berceloteh dengan ceria, di mandikan dengan air dingin tidak membuat keceriaannya luntur karena akan di panggil Mbak oleh sepupu kecilnya.

.
.
.

Masjid di dekat rumah Pak Jamal sedang dalam tahap renovasi adalah alasan utama dilaksanakannya shalat Idul Adha di lapangan bola.

Para warga sudah mulai berdatangan dengan mukena juga baju kokoh, bahkan beberapa anak kecil tampak berlarian di sekitar lapangan. Rombongan keluarga Abimanyu sendiri baru saja tiba, tampak Asa yang begitu antusias dalam balutan mukena hitamnya. Sangat menggemaskan.

"Asa ikut Mama sama nenek. Papa, Om Darin, Om Bagas sama kakek di depan sana." Damar menurunkan Asa pelan, anaknya itu memang sengaja di gendong dari rumah ke lapangan. Karena jika menunggu Asa jalan sendiri, yang ada orang selesai shalat idul Adha, mereka baru sampai.

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang