SF : 57

28K 2.5K 63
                                    

"MAMA, ADEK LILINA DAH SAMPE INI."

Adel yang sedang menyiapkan makanan untuk makan siang untuk sesaat terlonjak kaget, sedikit meruntuki kebiasaan Asa yang suka sekali berteriak.

"MAMAAA, KAK UNA ENDAK MO BAGI BAGI ADEK LILI."

Nah, berteriak lagi, tapi kali ini Adel bisa mendengar derap langkah kaki. Menebak bahwa putrinya itu pasti berlari menuju dapur sekarang, hanya perlu menunggu sesaat sebelum kedatangan Asa, dan Adel yakin putrinya itu akan mengadu lagi.

Kebiasaan yang sudah mendarah daging, yaitu mengadu. Tapi sejak kemarin, sepulang dari menjenguk Mai yang baru lahiran, kemampuan Asa dalam hal mengadu sepertinya naik dua tingkat. Semuanya dia adukan, mulai dari Luna yang pamer karena memiliki adik baru, nama sepupu barunya yang sangat sulit untuk dia sebut hingga minyak telon yang digunakan putri kedua Mai yang sama dengan minyak telonnya.

"Mama Kak Una tok ya pelit?"

"Pelit temanna setan kan Mama?"

"Yang bilang siapa eh?"

Sembari menyusun lauk di meja, Adel tetap menanggapi setiap pertanyaan ajaib Asa. Tentu Adel tidak ingin jika anak manisnya ini merasa diabaikan, sebisa mungkin Adel akan selalu menanggapi kalimat demi kalimat yang Asa katakan, tentu banyak manfaat yang di dapatnya.

"Kata Om Agas dulu. Lumahna nenek Malang sana, Om Agas bilang endak boweh pelit, anti temanna setan."

Terlalu sering bersama Bagas jadi begini model anaknya, mana mengatai orang tanpa melihat diri sendiri lagi. Seperti dia tidak pelit saja.

"Enggak boleh begitu, Kak Luna kakaknya Asa loh. Masa di bilang temannya setan. Gak baik."

Asa diam sejenak, bukan karena bingung menanggapi kalimat ibunya. Melainkan sibuk membawa tubuh berisinya untuk menaiki kursi makan, sedangkan Adel hanya bisa tertawa kecil. Tidak ada niatan untuk membantu sama sekali, membiarkan putrinya berusaha sendiri.

Dan begitu berhasil, Asa langsung mencomot udah goreng yang masih hangat, meniup sejenak sebelum menikmati udang gorengnya.

"Enak loh Mama."

Hanya gelengan kecil yang Adel beri, ada-ada saja tingkah anaknya ini.

"Tapikan Mama, Kak Una pelit tok. Asa mo lihat Adek Lili, sama Kak Una endak boweh. Katana anti Asa gigit pipina Adek Lili, pinah itu. Anti dosa masuk naka. Tahu lasa anti."

Makan dan mengomel, sudah biasa. Adel tidak terkejut lagi, Asa memang begitu, mulutnya akan diam dan tidak mengoceh hanya pada saat tidur, selain dari pada itu tentu saja mustahil untuk diam. Pengecualian untuk sogokan, perlu di ingat bahwa Asa itu mudah di sogok.

.
.
.

"Lun, nama adiknya siapa?"

Bagas dengan antusias bertanya pada Luna yang sejak tadi menatap tidak henti pada adiknya, sosok yang beberapa hari ini dia jadikan bahan pamer pada sang sepupu.

"Adek Aulin."

Singkat namun jelas, tapi cukup untuk membuat Bagas menelan ludah. Kata Rian sih, Luna itu masih satu spesies dengan Asa yang artinya berada pada level yang sama dalam hal cerewet. Tapi kenapa yang dia lihat dan dengar tadi sangat berbanding terbalik?

Si Luna Luna ini bahkam tidak menatapnya sama sekali, padahal Bagas sudah memasang ekspresi yang amat menggemaskan menurutnya. Tapi bocah di depannya ini sama sekali tidak beralih menatapnya.

"Adeknya cantik banget ini. Mirip Luna ya? Luna juga cantik." Mencoba sekali lagi, berharap bisa menarik perhatian Asa.

"Iya."

Lah, ini malah lebih parah. Hanya satu kata, benar-benar sungguh terlalu. Padahal dia datang jauh-jauh ke Batu untuk menemui Luna yang katanya sangat anggun, berbeda dengan Asa yang hanya anggun di pagi hari. Dan Bagas benar-benar mengakui itu.

"Gak sekalian nginap Gas? "

Bagas hanya bisa tersenyum canggung. Menatap ayah dari bocah yang minim kata tadi.

"Enggak Mas, ini mau langsung pulang. Besok masih harus kerja soalnya."

Fandy, ayah dua anak itu berjalan menuju ranjang, mengelus kepala putri bungsunya kemudian menggendong si bungsu.

"Kejar setoran kamu?"

Walau masih canggung, Bagas mencoba untuk menyesuaikan diri. Dia memang tidak terlalu dekat dengan keluarga kakak iparnya, selain karena beda kota. Bagas juga jarang ikut acara yang diadakan keluarga sang ipar.

Dan mengenai kejar setoran, mungkin bisa dikatakan seperti itu. Karena saat ini dia memiliki prioritas dan target sendiri. Apalagi jika bukan menghalalkan kekasihnya. Targetnya sih harus menikah tahun ini, tapi entah, bekerja tidak semudah yang ada dalam bayangannya saat ini.

.
.
.

"Suuuuut, Asa jangan belisik. Adek Aulin sudah tidul, sekalang Asa kelual, pelgi kamal telus tidul. Anak kecil endak boleh tidul malam-malam."

Untuk kesekian kalinya, Asa cemberut dan menggerutu pertanda tidak suka. Sudah hampir sepuluh menit dia berdiri di dekat ranjang, tapi sampai saat ini kakak sepupunya bahkan tidak memberinya ijin untuk menyentuh ranjang. Padahalkan dia hanya ingin melihat adik bayi.

"Endak mo tok. Mo na lihat adek Lili dulu."

Masih ngotot. Pokoknya harus bisa melihat adik Lilinya baru boleh keluar kamar, jika tidak, maka harus tetap berada di dalam kamar.

"Adek sudah tidul eh, jadi olanh kok ya susah di bilang."

Situasi darurat. Di dalam kamar hanya ada mereka bertiga, Luna, Asa dan Aurin. Semua orang dewasa sedang menikmati makan malam, dan Luna sudah di titipi pesan untuk menjaga adiknya yang tengah tidur lelap. Dan menjaga versi Luna adalah menjauhkan segala hal yang dijaganya dari seorang Asahila Tiara Abimanyu, adik sepupunya yang tukang rusuh, cerewet, pelit dan susah di atur.

"Ya mo lihat tok, jadi lolang endak boweh pelit, katana Pak Utas endak boweh anti jadi temanna setan. Kak Una mo jadi temanna setan?"

Nah mulai lagi, efek sering di bawa ke pengajian ternyata sangat kuat dan bertahan lama. Jika itu orang lain, mungkin akan mengalah, tapi ini seorang Aluna, bocah yang sifatnya satu server dengan Asa.

"Kata Bu Gulu, setan suka ganggu olang nakal, bukan olang pelit. Olang nakal itu berldosa, kalau olang pelit endak beldosa."

Dengan bangganya, Luna bersedekap dan menatap Asa sombong. Sedangkan Asa? Bocah 3 tahun itu memasang wajah heran dan menatap Luna sesaat.

"Emang iya? Katana Pak Utas endak bitu tok. Sema lolang nakal, lolang pelit itu temanna setan."

Entah berapa lama mereka berdebat tentang menjadi teman setan, yang jelas, mereka baru berhenti berdebat saat Mai memasuki kamar karena mendengar tangisan Aurin.

"Loh, adek Lilin na nanis? Ehhhh, endak boweh nanis. Jadi temanna setan mau?"

Lah, apa lagi ini. Orang menangis juga bisa menjadi teman setan?

Mai yang baru masuk tentu heran, apalagi bahasan kedua bocah menggemaskan yang kini asik berdebat tentang temannya setan.

🍀🍀🍀🍀

Gak tahu wattpadku error atau apa, yang jelas satu part gak kesimpan dan dua part yang sebelumnya siap Up harus direvisi dulu.

Dan mungkin gak bisa tepatin janji untuk 3Up, maaf ya guyss. Bukannya mau ingkar janji, tapi kondisi benar-benar gak memungkinkan. Ini aja revisinya usai shalat Isya karena kesibukan di dunia kerja.

Btw, ini beberapa part menuju ending yaa. Jangan lupa kritik sarannya. See U

Typo harap di koreksi.

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang