SF : 61

31.7K 3.2K 217
                                    

"Nanti kalau besar gak boleh seperti Mbak ya nak ya, Mbaknya tukang ambek loh sama Papa, masa dari tadi pagi gak mau ngomong sama Papa."

Damar yang sedang menimang Baska tampak sesekali melirik Asa yang mencuri dengar perkataannya, bahkan TV yang sedang menayangkan kartun favoritnya pun Asa abaikan. Bibir mungil Asa tampak dimonyongkan saat mendengar sang ayah yang mengadu pada adik kecilnya.

"Wes adek muka sama tok masih tecil, endak neti Papa nomong apa." Cibir Asa dengan mata melotot.

"Nanti pokoknya enggak boleh niru embaknya, masa embaknya tukang ngomel. Gak baik."

Kembali Damar berbicara dengan Baska yang hanya menanggapi dengan senyum kecil, itupun cuma sesekali. Dan bisa Damar tebak bahwa putrinya saat ini pasti sudah dongkol, terbilang sudah hampir seharian ini Asa mendiaminya, padahal Damar sudah meminta maaf bahkan menyogok anak itu dengan jajanan yang paling dia gemari. Tapi, tetap saja Asa tetap ngambek dan hanya mengambil cemilannya tanpa berbicara sepatah katapun dengan Damar.

"Padahal sudah Papa belikan cemilan loh, tapi Embaknya masih ambekan sama Papa."

"Wes endak ihlas."

Dan Asa beranjak dengan kaki menghentak, pertanda sedang kesal. Meninggalkan Damar yang tertawa melihat tingkah Asa itu. Sangat duplikat Adel sekali, padahal dulu sewaktu masih di dalam perut, Asa tergolong anteng, bahkan Adel hanya sesekali mengalami ngidam. Tapi saat keluar, Damar tidak bisa mempercayai model putrinya itu. Banyak tingkah, banyak maunya, cerewet dan sangat amat tidak bisa diam.

"Nahkan, Embaknya ambekan. Pokoknya kalau besar nanti Baska gak boleh ambekan." Tutur Damar, mengecup kening Baska lalu menimangnya. Berharap putranya bisa tertidur.

.
.
.

Saad adzan Magrib terdengar, Damar dengan baju kokonya menciumi Baska dan Bagas, niatnya juga ingin menciumi si Asa sebelum berangkat ke masjid. Tapi karena bocah itu masih dalam aksi mendiamkan Damar, jadilah Damar hanya berlalu usai berpamitan dengan Adel.

"Mas pulang nanti jangan lupa beli in martabak coklat ya. Lagi kepengen makan itu soalnya."

Sebagai jawaban, Damar hanya mengangguk dan keluar kamar. Meninggalkan Asa yang menatapnya dengan mata yang berkaca, sudah siap mengeluarkan air mata.

"Mama."

Panggilan Asa membuat Adel yang sedang melipat pakaian berbalik dan menghentikan kegiatannya. Dia sudah tahu mengenai aksi diam diaman Asa seharian ini, karena sejak pagi, Asa hanya nempel padanya dan Bagas, si gembil itu bahkan mendiamkan Baska karena menurutnya Baska berteman dengan sang ayah.

"Kenapa eh, bibirnya kok di majuin."

Banyak tingkah memang, mau menangis saja masih sempat sempatnya memonyongkan bibir.

"Papa jahat." Nah ini lagi, rasanya Adel ingin berteriak kesal saja. Asa berkata seperti itu sembari mengupil, tapi bukan itu yang membuat Adel kesal, melainkan...

"Ehh, upilnya kok ditempelin di keningnya Baska sih nak, kotor loh itu."

Yapss, Asa mengupil dan menempelkan upilnya itu tepat di kening Baska yang sedang tertidur lelap. Posisi Asa yang sedang tiduran di samping adik kembarnya, membuat bocah nakal itu dengan mudah melakukan aksinya.

"Ya bialin tok, sapa suluh adek muka sama teman sama Papa. Asa endak lek*like*."

Di tegur malah makin menjadi, Adel hanya bisa memejamkan mata sesaat dan menarik napas yang dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Kenapa pula aksi diam diaman ayah dan anak itu harus berimbas kepada Baska?

"Ya gak boleh loh. Kan adek gak tahu kalau Mbak Asa lagi marah sama Papa."

Adel benar-benar harus turun tangan langsung menghadapi pertengkaran Damar dan Asa, tidak boleh di biarkan berlarut larut. Entah apa yang akan terjadi jika Asa masih marah. Ini baru upil loh yang ditempelkan di kening Baska.

"Sini."

Menuruti isyarat sang ibu, Asa turun dan ranjang dan duduk tepat di hadapan Adel. Masih dengan bibir yang dimonyongkan.

"Kenapa marah sama Papa."

"Papa endak omong Asa watu di lumah nenek."

Sudah, jika alasannya ini Adel sudah tahu sejak kemarin.

"Papa sudah minta maaf loh, waktu itu Papa lagi sedih karena kakek Panji sudah enggak ada. Papa itu sayang banget sama Asa, kemarin aja waktu Asa gak bicara sama Papa, Papa sedih loh. Papa sampai nangis juga tadi karena Asa masih belum mau ngomong sama Papa."

Kalau ini Adel tidak bohong, karena memang tadi Adel sempat melihat Damar menangis saat suaminya ith menatap Asa dari jarak yang cukup jauh.

"Papa nanis?"

Hilang sudah segala tingkah aneh bin ajaib Asa, saat ini yang Adel lihat hanya sosok bocah yang tampak merindukan ayahnya.

Mengangguk, Adel membawa tubuh berisi Asa kedalam pangkuannya, mengusap punggung Asa saag dirasa bocah itu menangis.

"Asa salah Mama, Asa endak bitu lagi. Asa sayang Papa."

Adel tersenyum tipis, memeluk putrinya erat saat tangisan Asa kian menjadi. "Iya, nanti minta maaf sama Papa kalau Papa sudah pulang ya?"

Asa menjawab dengan anggukan kepala.

"Minta maaf juga sama adik Baska, kan tadi Asa udah nempelin upil di keningnya adek."

Lagi, Asa mengangguk. Kemudian melepas pelukannya pada Adel dan berlari kecil ke arah ranjang. Setelah berusaha sedikit keras, Asa akhirnya bisa menaiki ranjang tanpa bantuan sang ibu. Dan bocah 3 tahun itu  mengecup kening adiknya dalam, dimana tadi upil laknatnya menempel di sana.

"Adek Baska, solli tadi ebak tempel upil. Ebak sayang adek, talau besal janan lupa keja selti Papa bial punya duit nun."

Dan senyum haru Adel terganti dengan muka pasrah. Asa dan uang tenun? Masih satu paket.

Seperti yang di harapkan, Damar yang baru saja tiba di rumah langsung mendapat pelukan hangat juga permintaan maaf dari Asa. Seolah tidak pernah ada perselisihan sebelumnya, Asa nampak nemplok manja pada Damar, bahkan tidak memberi waktu sang ayah untuk berganti pakaian.

"Tadi Asa nakal."

Damar tersenyum kecil, mengusap kepala Asa yang masih ditutupi oleh mukena berwarna merah muda.

"Asa sudah malah malah sama Papa, endak omong sama Papa. Asa juga tadi upil, telus upilna asa simpan di dahina adek muka sama."

Terkejut, tentu saja. Asa tidak pernah usil pada adiknya sebelumnya, tapi ini, menempelkan upil di dahi Baska?

"Terus adek tiru-tiru?"

Nah, ini adalah nama panggilan dari Asa. Karena tidak bisa membedakan antara Baska dan Bagas, jadilah Asa menamai Baska dengan sebutan Adek muka sama, dan untuk Bagas Adek tiru-tiru. Kenapa? Karena kata Asa, Bagas adalah adiknya yang paling kecil. Otomatis, menurut Asa, Bagas meniru wajah dari Baskara.

"Endak, Adek tilu tilu endak Asa nakali."

Mungkin karena mereka akan menjadi satu server. Itulah yang ada di pikiran Damar terkait tingkah jail Asa yang pilih-pilih.

.
.
.

Back again, sesuai dengan janji ya sayang!!!

Jangan lupa kritik sarannya. Typo juga harap di koreksi.

Dan untuk yang selalu nanya kapan Up, saya katakan sekali lagi, kalau untuk pemberitahun Up itu ada di IG. Okey!!!

SeeUNextPart. Byebye

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang