SF : 27

53.2K 3.4K 60
                                    

Jam menunjukkan angka 7. Yap. Sekarang sudah pukul 7 malam, Damar sendiri pulang dari kantor hampir pukul 5 tadi. Mampir ke rumah orang tuanya untuk makan malam sekaligus mandi, termasuk memandikan putri cerewetnya yang saat ini sedang memilah milah sayuran. Yah, saat ini mereka sudah berada di supermarket yang terletak tidak jauh dari kompleks perumahan mereka.

Demi apa, Asa yang bahkan belum berusia 4 tahun saat ini sedang memilah sayuran yang biasa dilakukan wanita dewasa. Bahkan Damar bisa mendengar Asa menggumam saat mendapati sayuran yang tidak sesuai dengan keinginannya.

"Papa mo sayul bayam ? Popaye makan bayam bial kuat." Celetuk Asa secara tiba-tiba, mengagetkan Damar yang sejak tadi hanya diam mengawasi putrinya berbelanja.

"Papa enggak suka bayam. Mama sama Asa juga enggak suka. Jadi enggak perlu beli bayam."

Asa mendongak, menatap sang Ayah bingung.

"Tenapa ?"

"Karena kalau beli bayam, nanti enggak ada yang makan. Mubazir."

Asa melongos begitu saja. Matanya menatap sayur mayur segar di depannya. Saat ini, apa yang sangat dibutuhkan oleh gadis kecil itu belum dia dapat.

"Papa ngantuk." Bohong. Buktinya mata Damar malah masih segar, tidak ada unsur mengantuk sama sekali. Hanya saja dia mulai jengah, sedari tadi mereka diperhatikan oleh banyak orang terutama yang berjenis kelamin perempuan. Damar risih tentu saja, lain halnya dengan sang putri yang justru santai santai saja.

"Papa tidul mobil, Asa sini banja. Cali timun bat masel, anti timunna ada Asa pi sama Papa minta duit bayal banjana."

Yang dilakukan Damar selanjutnya adalah meneguk ludah pasrah. Ya Allah, saran dari putrinya sangat menggores batinnya. Saran yang sangat menusuk perasaan.

Tanpa mengatakan apapun, Damar segera meraih mentimun yang berada di rak paling atas.  "Timunnya sudah ada. Sekarang kita pulang. Kalau Asa enggak mau pulang, Papa tinggal di sini."

Sekali kali, Damar harus tegas. Walau dalam sikap tegar itu tetap ada kesan lembut. Lagi pula, mana tega Damar membuat anaknya mewek karena dia marahi.

"Iya, puwang kalang. Papa dendong  ato Asa jalan dili ?"

"Jalan sendiri. Papa bawa belanjaan. Susah kalau Asa mau di gendong."

Dan tanpa membantah, Asa berjalan lebih dulu. Sesekali bersenandung. Sampai matanya menatap cemilan kesukaan sepupunya. Langkah Asa jelas langsung berhenti, membuat Damar yang mengikuti di belakang juga ikut berhenti.

"Papa ada milan, besok katana mo pi Batu, Asa mo beli milan banyak banyak, badi badi sama Kak Una."

'Mulianya hatimu nak.' Damar membatin bangga. Walau Asa dan Luna lebih sering bertengkar, nyatanya hubungan persaudaraan mereka tetap kuat.

"Asa sukana lasa cokat. Kak Una sukana lasa keju. Papa beli lasa cokat sama keju ya ?"

Damar segera mengambil beberapa cemilan, tidak lupa susu kotak rasa coklat.

"Papa beli loti bat nenek haja sama kakek haji juga ya ?"

"Loh, nenek Ifah sama kakek Jamal enggak di kasih ?"

"Endak. Anti puwang dali Batu, beli diah bat nenek Ipah sama kakek Jamal."

Baik hati memang. Tapi tetap saja, ujung ujungnya Damar yang membayar dan Asa yang mengklaim bahwa oleh oleh itu dia yang membelinya.

"Om Bagas juga di Batu. Enggak beli sesuatu buat Om Bagas."

Asa terdiam, tampak berpikir sejenak. Bibir mungil itu juga mengerucut lucu. "Endak pelu, anti ante Nia beli bat Om Agas. Papa sudah muana ?"

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang