SF 60

33.3K 3.2K 174
                                        

Setelah pengajian malam ketiga kepergian Panji, Damar dan Asa memutuskan untuk kembali ke Batu, rindu teramat sangat dengan kedua malaikat kecilnya di sana. Suasana di kediaman orang tuanya juga sudah mulai membaik, semua keluarga besar sudah bisa mengikhlaskan kepergian sosok nomor satu itu. Tapi satu hal yang membuat Damar masih agak bersedih, yaitu putri manjanya yang tiba-tiba jadi pendiam sejak 3 hari yang lalu. Asa hanya diam saat di tanya, di suruh makan dan sebegainya. Gilitan menjawab, hanya suara tangisan yang terdengar dan menggumamkan kata mama.

"Asa sudah mau balik ya? Nanti sampai di sana telepon nenek ya."

Hanya sebuah anggukan yang  Asa beri untuk menjawab pertanyaan sang nenek. Setelah itu Asa mengulurkan tangan pada Damar, meminta untuk si gendong.

"Cucu nenek masih sedih? Gak boleh ya, nanti cantiknya hilang." Ujar Bu Ifah seraya mengusap pipi berisi Asa.

"Asa lindu kakek Panji."

Asa berujar lirih seraya memainkan kancing kemeja Damar, membuat Damar dan ibunya tersenyum kecil. Mengerti betul seberapa besar rasa rindu bocah itu.

"Asa udah pena temu sama kakek Panji, tapina anti adek kembal endak."

"Kakek Panji tunggu kita semua di sana. Nanti pasti kakek Panji datang ke mimpinya adik kembar, Asa enggak boleh sedih lagi, kan sekarang sudah besar. Sudah jadi Mbak, adeknya sekarang sudah 2 loh."

Lagi, Asa mengangguk lesu. Rasa rindunya masih besar.

"Kamu hati-hati bawa mobilnya, Mama titip salam sama istri juga mertuamu. Mama tahu kamu kuat nak, apalagi ada empat orang yang sekarang bergantung sama kamu. Istrimu di sana pasti juga sedih, hibur dia, jangan sampai dia stres."

Mengangguk singkat, Damar memeluk ibunya yang tampak menahan tangis sebelum melangkah beriringan keluar kamar. Di ruang keluarga, tampak beberapa keluarga besar masih berlalu lalang. Sepupu jauh Damar sendiri sudah ada yang pulang sejak kemarin. Jadi kondisi rumahnya saat ini tidaklah seramai dua hari lalu.

"Sudah mau pulang Dam?"

Damar mengangguk menjawab pertanyaan ayahnya, berjalan menghampiri saat Asa tampak merengek ingin memeluk kakeknya.

"Asa puwang dulu. Anti pi sini talo adek kembal dah besal."

Entah kenapa, Asa lebih dekat dengan semua lelaki di keluarga Abimanyu. Asa tidak sungkan untuk bermanja.

"Iya. Jangan sedih lagi ya. Kemarin kakek dengar Asa nangis, sekarang gak boleh lagi. Kan sudah jadi Mbak."

"Hu uh, nenek juga bilang ditu. Asa dah jadi ebak."

Senyum bocah itu akhirnya terlihat, Pak Jamal sampai mencium gemas cucu tertuanya itu.

"Damar balik dulu, Mama sama Papa jaga kesehatan. Nanti Damar kasih kabar kalau sudah di Batu."

.
.
.

"Kakek Panji bawah sana jauh sama lolang, Asa sedih tok."

Belum lima menit sampainya mereka di Batu, Asa sudah memulai sesi curhatnya. Menceritakan kesedihannya pada sang ibu yang senantiasa membelai lembut kepalanya.

"Semana nanis, nenek Ipah nanis telus. Kakek Panji endak banun, Asa pandil juga endak mo banun."

"Asa nangis?"

Jawaban dari pertanyaan ini Adel sudah tahu pasti, hanya saja dia ingin memastikan satu hal, bahwa semuanya baik-baik saja. Tidak seperti apa yang dikatakan suaminya di telepon tadi. Dan gelengan dari Asa membuat Adel memeluk erat tubuh putrinya itu.

"Gak boleh bohong, Kakek Panji gak suka loh kalau Asa bohong."

"Asa endak nanis Mama, Asa endak cengeng tok."

Adel tahu, saat ini semuanya tidak dalam keadaan baik-baik saja. Suaminya lebih banyak diam, dan putri cerewetnya lebih memilih untuk tidak berbagi kesedihan dengannya.

"Asa sayang Mama?" Merasakan anggukan dari Asa, Adel kembali bertanya perihal alasan bocah itu berbohong kepadanya.

"Asa endak mo Mama sedih, semana sedih, endak ada yang peduli Asa sana. Semanan nanis, Asa juga nanis tapina endak ada lolang peluk Asa. Asa mo pulang, tapina endak bisa. Asa mo sini aja, endak mo pi sana lagi. Papa juga endak sayang Asa lagi."

Perasaan seperti ini pernah Adel alami dulu, itu hal yang wajar dalam kondisi berduka. Tapi tetap saja, mengetahui kondisi di sana membuatnya merasa sedikit marah dan kecewa.

Setelah berbincang, Adel menemani gadis kecilnya itu untuk tidur. Asa sangat lelah, terlihat dari mata yang menahan kantuk. Bahkan bocah itu tidak menyapa adiknya saat sampai. Memastikan Asa sudah lelap dalam tidurnya, Adel menghampiri Damar yang sejak tadi mendekam di kamar.

"Mas, bisa bicara sebentar?"

Damar yang memandangi kedua putranya tersentak mendengar suara Adel yang tiba-tiba.

"Mas sudah bicara dengan Asa?"

Tidak mengerti, Damar menatap Adel penuh tanya. Sedangkan Adel sendiri memilih untuk duduk di sofa, menjaga sedikit jarak dengan suaminya.

"Asa ngerasa kamu gak sayang dia loh Mas."

"Kamu paling tahu jawabannya Del, Mas gak ngerti kenapa kamu bicara begini."

"Mas, aku tahu kamu berduka, kamu sedih, aku juga ngerasa begitu Mas. Tapi gak sepatutnya kamu mendiamkan Asa, dia bahkan nahan air mata loh pas cerita ke aku tadi. Dia takut nangis, dia bahkan bilang kalau kamu gak peduli sama dia saat di rumah Mama."

Teguran kecil itu membuat hati Damar tersentil, sedikitnya dia mengingat perlakuannya saat di Malang yang begitu fokus pada kesedihannya dan kesedihan keluarganya, sampai-sampai mengabaikan putrinya. Padahal dia yang ngotot untuk membawa Asa bersamanya.

"Aku tahu kamu sayang banget sama Asa, bahkan aku rasa, rasa sayang kamu ke Asa lebih besar daripada ke aku Mas. Tapi aku gak cemburu tuh, karena kamu itu cinta pertama putri kita. Dan kamu harus tahu Mas, dari hari ke hari, Asa semakin tumbuh dewasa. Dia mulai tahu kalau sifat kamu berubah, dan saat kamu orang yang selalu majain dia, selalu sayang sama dia, tiba-tiba kamu gak peduli. Wajar kalau dia merasa kamu udah gak sayang sama dia, Asa itu sensitif loh."

Damar tidak menyadari itu, dia hanya tahu bahwa putrinya juga berduka, sama sepertinya. Dia benar-benar tidak tahu bahwa putrinya merasakan hal yang berbeda. Dan jika saja Adel tidak menegurnya begini, mungkin esok dia akan mendapati putri manjanya itu menjauhinya.

"Kata Mama, Asa itu seperti kamu. Diacuhkan sedikit mulai berfikir yang aneh-aneh, jadi aku rasa, Mas paling tahu bagaimana mengatasi sifat Asa."

Itu benar, sifat Asa yang mudah tersinggung dan sangat perasa memang sama sepertinya. Tapi karena terlalu larut dalam dukunya, Damar tanpa sadar mengacuhkan putri kecilnya itu.

"Sekarang Mas istirahat aja dulu, nanti aku bangunin Mas kalau Asa juga udah bangun. Mama bilang, kamu kurang tidur 3 hari ini."

Saat ini, yang ada di fikiran Damar bahkan bukan untuk mengistirahatkan tubuhnya, tapi fikiran Damar dipenuhi segala macam bujuk rayu untuk meluluhkan kekecewaan putri manjanya.

.







🍀🍀🍀🍀

Back again, sesuai dengan jadwal yah.

Jangan lupa kritik sarannya, maaf kalau ada typo. See U next part!!!!

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang