SF : 44

51.6K 3.4K 96
                                    

"Loh loh. Ini pelutna ante Pana kok kecil ? Endak besal lagi, mana adekna ?" Asa bertanya heran, begitu memasuki kamar rawat tantenya, dia mendapati perut yang dulunya besar itu kini mengecil.

Bu Ifah yang mendengar celotehan cucunya hanya bisa tersenyum tipis. "Adiknya sudah keluar." Berharap sang cucu puas dengan jawaban itu.

Tapi yang namanya Asa, tidak akan puas sebelum semua pertanyaannya terjawab.

"Telus mana ?" Matanya menelusuri setiap sisi ruangan, tapi tidak mendapati sosok kecil yang bisa disebutnya adik.

"Ehh, nenek bohong ya ? Endak boweh bohong, anti dosa masuk nalka, di sisa-sisa sana Asa endak tolong."

Kalimat Asa itu tentu mengundang tawa bagi semua keluarga yang ada di sana, mereka yakin seratus persen bahwa Asa tidak tahu dengan benar apa itu dosa. Hanya pandai mengucapkannya saja, mengingat Asa sangat cerewet dan akan mengatakan apa yang ada dikepalanya saja.

"Asa enggak boleh begitu. Adeknya masih sama dokter, nanti diantar kesini." Ujar Adel, menghentikan aksi bocahnya yang akan kembali bersuara.

Asa yang mendengarnya acuh, berjalan menuju bangkar dimana tante Savananya terbaring.

"Kemalin toh Mama badanna panas, telus Asa lawat Mama. Asa batu-batu besih lumah sama Papa, Asa pepel juga kemalin telus suap Mama sama bubul. Asa makan bubul yam, Papa beli bubul yam kana Mama sakit endak bisa masak."

Pamer. Itu yang ada dibenak Damar, yang ada Asa tidak membantunya bersih-bersih rumah, melainkan membuat rumah berantakan. Sementara Adel duduk didekat ayah mertuanya, kehamilannya yang kedua membuatnya mudah lelah, tidak seperti saat hamil Asa. Dalam hati Adel berharap agar anaknya sehat-sehat saja, dia tidak ingin mengecewakan semua keluarnya yang tampak antusias dengan kehamilannya, terutama sang putri.

"Terus siapa yang kemarin buat lantai teras kotor ?" Damar bertanya, ingin melihat apa lagi alasan putrinya kali ini.

Dan benar saja, Asa yang tadinya menceritakan kesehariannya menoleh sejenak dan mengangkat bahunya. "Asa. Tapina Asa mo besih-besih tok, Asa pepel latena. Ehhh, latena kotol, nakal kan Om Dalin, Asa sudah capek pepel tapina latena jadi kotol. Anti besok latena mo danti balu."

Darin yang gemas tidak tahan untuk menciumi Asa, ada-ada saja keponakannya ini. Selalu benar dan tidak mau disalahkan.

Saat Asa tengah asih berceloteh, pintu ruang rawat Savana terbuka, seorang suster masuk membawa sosok kecil yang menggeliat kedalam gendongannya. Asa yang melihat itu, dengan gesit berlari menuju pintu, merentangkan tangannya lebar-lebar, seolah melarang sang suster untuk masuk.

"Ehhhh, sutel sapa ? Mo apa pi sini ? Ini kamalna ante Pana, sutel mo apa pi sini. Endak boweh ya, endak kenal tok masuk masuk kamalna olang. Endak sopan."

Melihat aksi anak mereka, Damar dan Adel kompak memejamkan mata seraya menarik napas dalam-dalam. Rasanya tidak lengkap hidup anak itu jika sehari saja tidak berceloteh, apalagi ini pada seorang suster yang sudah jelas-jelas memang bertujuan untuk ke kamar inap ipar mereka.

Lain Adel lain pula semua keluarga yang hadir, Darin selaku ayah dari bayi yang digendong oleh suster segera berjalan menuju keponakannya itu, membawa tubuh berisi Asa kedalam gendongannya.

"Lihat, susternya bawa adik Asa." Tunjuk Damar, mengarah pada bayi kemerahan yang berada digendongan suster.

Untuk sesaat, Asa terpana. Mata bulatnya tampak berbinar sebelum memberenggut tidak suka.

"Tok sutelna bedili sini. Tenapa endak masuk, adekna Asa capek dedong telus sama sutel, mona bobo sana sama Mamana. Ayo masuk, anti adekna nanis."

Plin plan dasar, tadi melarang sekarang malah sebaliknya. Membuat suster itu tersenyum tipis, tidak pernah dia mendapati bocah cerewet seperti Asa. Mungkin dia pernah melihat bocah yang cerewet, tapi tidak seperti Asa yang tetap berbicara sesukanya meski pada orang yang tidak dikenal.

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang