Pamer seolah sudah menjadi bagian hidup dari seorang Asahilla Tiara Abimanyu. Cucu sulung dari keluarga Abimanyu itu kini berdiri dengan tangan bersedekap, menatap Luna penuh keangkuhan bin kesongongan, sedangkan yang di tatap justru balik menatap dengan tak kalah sengit.
Saat ini, di halaman belakang H.Taufik, kedua balita perempuan itu saling melempar kata untuk memamerkan kepunyaan mereka.
Seperti Luna, balita yang berumur sedikit lebih tua dari Asa itu kini tersenyum penuh kemenangan saat melihat sepupunya terdiam karena kalimatnya.
"Adikku pelempuan, cantik, lambutna bisa dikepang nanti. Kalau adikmu endak bisa di kepang, kepalana endak ada lambut."
Makin bertambahlah kesombongan Luna karena kini Asa terdiam, posisinya yang sedang berdiri di halaman belakang rumahnya membuat Asa ingin sekali melempari sepupunya itu.
Tapi hanya sesaat, karena selanjutnya Asa sudah senyum-senyum tidak jelas.
"Adekna Asa dua. Mukana sama, adekna Kak Una satu, kejana nanis telus, ceneng selti Kak Una. Adekna Asa endak suka nanis, adekna Asa ganteng selti Papa. Anti talo besal bisa keja cali uang bat beli samay doleng. Adekna Kak Una endak bisa eh."
Luna, bocah yang baru bangun tidur dan belum mandi itu sudah berdebat sejak beberapa menit yang lalu dengan Asa, bocah yang kini hanya menggunakan daster tidur dengan tangan yang tak berhenti menggaruk kepalanya, sesekali juga mengupil. Keduanya sibuk memperdebatkan adik siapa yang jauh lebih baik.
Asa yang pada awalnya cemburu karena rambut adiknya tidak bisa dikepang kata Luna, kini tersenyum penuh kemenangan. Merasa di untungkan karena dia memiliki adik 2 sekaligus, sedangkan Luna hanya memiliki 1 adik. Baginya, tidak masalah punya adik lelaki, asalkan jumlahnya lebih banyak dari Luna.
Sedangkan Luna, dia sepertinya sudah kehilangan kemampuan berdebatnya, salahkan Asa yang mengungkit jumlah adiknya. Bergegas, putri sulung Bapak Fandy itu berlari masuk ke dalam rumahnya.
"MAMA MINTA ADEK DUA SEPETI ANAKNYA ANTE ADEL."
"Asa tok ya di lawan. Endak boweh tok, nanak cantik soleh selti Asa endak boweh talah."
Makin bertambahlah kesongongan anak sulung Bapak Damar itu.
.
.
.Semenjak memiliki adik, Asa sudah jarang berkunjung ke rumah sebelah, alias rumahnya Aluna Pramadya Sukri. Kini bocah itu lebih memilih ngadem di kamar dengan alibi ingin menjaga sang adik, seperti saat ini, bocah itu duduk anteng tepat di tengah-tengah kasur. Sesekali tangan jahilnya menoel pipi berisi Bagas yang tertidur pulas di samping kirinya, sedangkan Baska yang kini terbangun tampak aman dari tangan jahil Asa.
"Adek Agas namana sama selti Om Agas, hihihi. Anti talo besal pasti selti Om Agas, suka beli Asa milan ama basso besal."
Asa berucap seperti itu sembari menatap Bagas, sudah sangat antusias dia. Sedangkan saat menatap Baska, Asa tampak berpikir sejenak.
"Tok ya endak penah ada suala kamu." Heran, mungkin itu yang ada dalam benak Asa. Pasalnya dia amat jarang mendengar Baska menangis, yang di dengarnya hanya suara tangisan Bagas.
"Bental eh, Ebak cantikmu ini coba-coba dulu eh. Janan-janan kamu endak ada suala."
Dengan gaya kemayunya, Asa turun dari ranjang. Berjalan anggun versinya, melangkah keluar kamar entah untuk apa dan kembali lagi beberapa saat dengan posisi yang sama seperti tadi. Duduk di tengah-tengah Baska dan Bagas.
Beberapa detik berlalu dengan keheningan, tampak Asa yang meneliti wajah Baska dengan serius hingga kemudian terdengar tangisan Baska yang amat keras, tapi bukannya menenangkan sang adik, Asa justru tampak takjub dan segera mengambil benda yang berada di pipi Baska.
"Ada suala tenyata. Asa kila endak ada."
Sedangkan Baska, bayi itu sudah menangis keras, wajahnya bahkan memerah dengan air mata yang keluar dari mata mungilnya. Asa yang tadi tampak bahagia kini berbalik, wajahnya sudah menunjukkan kekesalan.
"Ehh, pipina cuma jepit pake jepit jemulan tok ya nanis. Asa ini, sudah jatuh dali powon, jatuh dali sepeda endak nanis-nanis."
Nah, malah mengomel. Asa kini menepuk-nepuk paha Baska, berniat menenangkan adiknya itu sebelum sang ibu atau keluarga yang lainnya datang. Takut di marahi dia. Tapi sepertinya tangisan Baska sudah di dengar oleh Adel, ibu tiga anak itu kini berjalan menghampiri ketiga anaknya, atau mungkin hanya Baska, karena tangisannya belum berhenti.
"Kok nangis adiknya Sa. Diapain eh sampai nangis begini?"
Bukan tanpa alasan Adel berujar demikian, tapi Asa ini memang sedikit usil pada adiknya. Asa yang mendapat pertanyaan seperti itu tampak masa bodoh, lebih memilih menciumi wajah Bagas yang tumbenan anteng.
"Asa jepit pipina pake jepit jemulan. Asa helan tok endak ada sualana, Asa jepit, eh, nanis. Jadi wowok tok ya ceneng."
Ya Allah, drama sekali anak sulungnya ini, tentu saja Baska menangis, lah wong pipinya di jepit begitu.
"Ya enggak boleh dong nak, kasihan loh adeknya."
"Sapa suluh endak ada sualana. Asa kan pasalan tok mau denal sualana adek Baska."
Selalu saja, Asa selalu saja memiliki alasan di balik semua tingkahnya. Jika tidak ingat dia melahirkan bocah itu dengn bertaruh nyawa, sudah Adel kirim ke Malang. Ada-ada saja tingkahnya.
Dan seolah tidak bersalah, Asa melenggok santai keluar kamar, saat berada di ambang pintu bocah itu berbalik, berkedip nakal dan melayangkan ciuman.
"Dut bay Adek Tilu sayangna Asa. Dut bay adek Baska Muka Sama suka nanis. Dut bay mamana Asa, Asa lual dulu, janan lindu."
"Tingkahmu nak, perasaan dulu Mama gak gitu banget loh." Ujar Adel, tidak percaya dengan segala tingkah ajaib anaknya. Entah akan kemana lagi bocahnya itu membuat ulah.
Di sisi lain, Luna yang sedang menjaga Aurin mendadak memasang wajah kesalnya saat melihat sosok mungil, dengan badan gembul juga pipi yang penuh bedak berdiri di dekat TV.
Sosok yang tak lain adalah sepupunya itu berdiri dengan pose yang menyebalkan plus mata yang berkedip entah karena apa. "Kenapa matamu, ada debunya?" Tanya Luna penasaran. Pertanyaan yang membuat seorang Asahilla Tiara Abimanyu memonyongkan bibirnya.
"Dasal tindalan jaman, ini namana wiwing, matana kedip sebelah bini." Jawab Asa sembari mengedipkan mata kirinya, membuat Luna hanya ber oh riah kemudian kembali menatap wajah Aurin yang terlelap.
"Kenapa pelgi lumahku?" Kembali bertanya, kali ini sosok yang di tanyai sudah duduk di hadapannya, tepat Aurin berada di tengah-tengah mereka.
"Ya mo lihat adek Lilin tok, kenapa tanya-tanya? Dasal mau tahu lulusan lolang lain."
Nah kan, ditanya baik-baik jawabannya malah penuh ajakan untuk berkelahi. Memang begitulah sosok Asa, selalu ngegas tiap di ajak berbicara oleh Luna.
"Kenapa eh? Adekku cantik? Ya memang tok, embaknya juga cantik wes adeknya kudu cantik." Kali ini Luna berujar dengan penuh kesombongan. Dalam benaknya sudah penuh dengan kilasan-kilasan kejadian saat dirinya di puji cantik.
Memonyongkan bibir pertanda kesal, itulah yang di lakukan sosok Asa. Tidak ingin menimpali karena takut di usir saat belum puas memandangi wajah menggemaskan Aurin.
Bagi bocah itu, yang cantik dari yang tercantik adalah dirinya. Jika bukan karena takut di usir, sudah pasti Asa berkoar koar mengenai kecantikannya.
.
.
.
.
.
.
.
Back again, sesuai dengan janji ya sayang!!!Jangan lupa kritik sarannya. Typo juga harap di koreksi.
Dan untuk yang selalu nanya kapan Up, saya katakan sekali lagi, kalau untuk pemberitahun Up itu ada di IG. Okey!!!
SeeUNextPart. Byebye
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Family ✅
Randommenjadi orang tua diusia muda bukanlah halangan besar bagi seorang Damar Abimanyu dan Adelia Sukri. Mereka sudah diberi sosok balita cantik bernama Asahila Tiara Abimanyu, balita berusia 2 tahun 8 bulan dengan berbagai tingkah yang kadang membuat ke...