SF : 54

45.8K 3.5K 178
                                    

Usai insiden celana melorot, Asa nampak anteng selama acara berlangsung, tidak sekalipun bocah cerewet itu meninggalkan tempatnya yang duduk manis di pojok ruangan dengan ditemani sepiring buah apel yang sudah di potong-potong. Bahkan bocah itu tidak peduli kala sang paman, Rian, meledeknya karena celana melorotnya.

"Tumben anakmu anteng gitu Del, biasanya udah kayak cacing dia." Farah tentu heran melihat ponakannya itu. Pasalnya Asa sangat jarang berdiam diri di satu tempat dalam waktu yang lama, jika hanya diam tanpa bergerak mungkin Farah akan menganggap itu wajar, tapi ini sudah tidak bergerak, Asa juga tidak bersuara. Hanya diam dengan mulut yang tak henti mengunyah.

"Biasa Mbak, emang gitu kalau dia udah di janji." Jawab Adel singkat.

"Di janji apa? Kok ya anteng begitu."

"Sama Mas Damar dijanjiin mau beli celana baru. Tadi pagi ngambek gara-gara celananya itu."

Mengingat kembali saat putrinya merengek minta dibelikan celana baru, Adel tak kuasa menahan rasa gelinya. Adel sendiri tidak tahu bagaimana bisa celana Asa itu mereka bawa, padahal Adel sudah berniat untuk menyimpan celana itu, selain karena mati karet juga karena sudah robek di bagian belakang.

Jadilah Damar menjanjikan akan membeli celana baru esok hari dengan syarat bahwa Asa tidak boleh membuat ulah selama acara tujuh bulanan sang bibi.

.
.
.

"Loh kok bisa sih? Papanya Asa kan punya banyak uang, kok Asa tidak dibelikan celana?"

Damar tertawa kecil mendengar pertanyaan itu terlontar dari mulut sang mertua, begitu pun dengan keluarga yang lainnya. Sengaja berkumpul di halaman belakang rumah fandy usai acara sejak beberapa menit lalu. Sementara yang dilontarkan pertanyaan hanya menghela napas berat, seolah pertanyaan yang ditujukan padanya amat berat untuk dia jawab.

Asa memperbaiki duduknya, merapikan kembali ujung gamisnya yang tersingkap. "Papa belina bedak telus, tus endak ingat Asa canana lolot semua. Asa pusing tok pikilna, Asa mo pi lual tapina endak ada cana badus, semana lolot."

Dengan gemas, H.Taufik mengecup lama ubun-ubun sang cucu. Ada-ada saja jawabannya.

"Kak Una banyak celananya, nanti kalau Asa mo pulang bisa ambil punyana Kak Una."

Luna yang duduk anteng dipangkuan sang ayah memberikan saran yang amat bagus.

"Tapi nanti di bayal ya. Kan endak glatis, kalau semuanya glatis nanti Kak Una lugi. Papakan belum panen, endak ada uang beli celana nanti. Jadi kalau mau ambil celananya Kak Una halus bayal uang melah 5."

Pecah sudah tawa semua orang dewasa disana, sudah maklum dengan sifat perhitungan Luna yang apa-apa dikaitkan dengan untung rugi.

"Enggak baik adek. Kan Asa adiknya Luna juga, enggak boleh pelit." tutur Ilham yang sejak tadi hanya diam mengamati.

Tapi yang namanya Luna tentu tidak akan mengiyakan, sifat perhitungan benar-benar tak bisa dilepaskan darinya. Padahal baik Fandy maupun Mei tidak pernah mendidik sang anak untuk pelit dan perhitungan begitu.

"Endak pelit Kak Ham. Kan semuanya halus bayal, Kaka Ham kalo beli di toko halus bayal juga kan?"

Mendengar itu, Ilham hanya menghela napas pelan. Sulit sekali menjelaskan sesuatu pada bocah yang amat paham tentang untung rugi.

"Anakmu gitu amat Fan, kasihan calon suaminya nanti." Gurau Yusran, suami Farah yang sudah terkekeh geli membayangkan bagaimana masa depan lelaki yang menjadi suami keponakannya kelak.

Mereka terus berbincang tentang perkembangan anak-anak, sesekali tertawa saat mendapati sikap ajaib dari anak-anak mereka. Hj.Maulina sendiri tersenyum penuh haru, semenjak ketiga anaknya menikah, sangat jarang sekali mendapati pemandangan seperti ini. Saat kumpul keluarga, Farah dan suaminya sangat jarang terlibat lantaran tinggal cukup jauh dari Batu, juga Yusran suami Farah yang memang jarang mendapat cuti kerja. Tapi meski begitu, Hj.Maulina tetap bersyukur melihat rumah tangga anak-anaknya yang tetap harmonis seperti ini.

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang