SF : 19

57.7K 3.4K 47
                                    

Asa menatap takjub pada sosok yang jauh lebih mungil darinya. Pipi yang sama gembil, membuat Asa tidak tahan ingin mencubiti pipi itu.

"Ini adekmu ?" Tanya Asa antusias pada sosok anak perempuan di dekatnya. Ganisha, nama anak itu menangguk antusias. Teman sekelas sekaligus teman sebangku Asa di sekolah.

Jam pulang sekolah PAUD sebentar lagi. Orang tua Gabisha sudah menjemput Ganisha beberapa menit lalu, tidak lupa membawa bayi mungil, adik dari Ganisha.

"Iya. Adekku pelempuan uga. Cantik kan ?"

Cantik ? Asa memiringkan kepalanya bingung. Berfikir sejenak, sebelum akhirnya menggeleng. "Endak cantik. Asa na cantik. Endak da olang cantik lain Asa sama Mamana Asa."

Tingkat percaya diri yang tinggi. Orang tua Ganisha sampai tertawa geli karenanya.

"Asa mo punya adek uga ?" Tanya Ganisha.

"Anti, adekna Asa da pelutna ante Pana."

Asa menjawab tanpa menatap wajah lawan bicaranya. Matanya tetap menatap pada bayi yang kini sedang mengulum kepalan tangannya. Melihat hal itu, Asa bergidik. "Ante adekna matan tananna, totol itu. Ihhhh, anti ada bateli na, takit bawa lumah takit, telus di sutik sama dotel."

"Gak papa. Tangan adiknya kan bersih, sudah tante cuci. Mamanya Asa belum jemput ?"

Adel memang hanya menemani Asa kesekolah selama beberapa hari saja. Selebihnya hanya mengantar dan menjemput, Asa sudah tidak di tunggui sejak beberapa minggu lalu.

Mata bulatnya menatap pada gerbang, tepat saat Ibunya keluar dari mobil yang sangat Asa kenali. Mobil milik ayahnya. "Itu Papa Mamana Asa." Tunjuk Asa antusias.

"Danisa, Ante, Om. Asa puyang duwu. Papana da jeput. Asamikum."

.
.
.

"Mama mo adek."

Adel yang sedang menyiapkan makan siang untuk suami dan anaknya hampir saja menjatuhkan centong nasi saat mendengar permintaan Asa.

"Mas." Adel menatap tajam pada suaminya yang datang belakangan. Menduga bahwa sang suamilah pelaku yang menghasut Asa untuk meminta adik, ngebet sekali ingin punya anak kedua.

Mengambil tempat duduk dekat meja makan, Damar meraih toples kerupuk udang dan memakannya. "Bukan aku sayang. Asanya aja yang tadi ngerengek minta adik, karena aku gak kuat dengar rengekannya. Ya sudah, kuminta dia minta sama kamu aja."

"Ma, mo adek. Temana Asa puna adek, Asa uga mo puna. Adekan mo banyak, mo puluh."

Menghela napas dalam, Adel segera menggendong Asa kemudian mendudukkan anaknya itu pada kursi, kemudian Adel mengambil tempat di dekat Asa, tepat di depan sang suami yang susah payah menahan tawa. "Aku sih ayok aja, Yang. Banyak anak kan bagus, makin banyak doa yang kelak kita terima di akhirat."

Adel melotot menatap suaminya yang seenaknya saja berbicara. Merasakan tarikan pada ujung pakaiannya, Adel melihat Asa yang menatapnya dengan tampang cemberut.

"Ma mo adek."

"Sayang dengar Mama. Nanti kalau sudah besar baru boleh punya adek. Kan sekarang Asa masih kecil, Mama masih repot sama Asa. Asa mau mandi, Mama mandiin, mau makan juga kadang Mama yang suap. Mama buatin susu, juga temani tidur. Nanti kalau punya adik, yang mau ngurus Asa siapa ?"

Kali ini Adel berharap agar Asa mengerti dan tidak ngotot minta adik. Yang repotkan nanti dia juga, lagi pula Asa masih terlalu kecil untuk memiliki adik. Adel takut nanti dia tidak bisa adil dalam memberi perhatian dan kasih sayang untuk Asa, kalau dia memiliki bayi sekarang, diusia Asa yang belum mencapai angka lima. Maka bisa Adel pastikan dia akan ribet sendiri.

Suaminya, Damar tentu membantu. Tapi tidak bisa seharian penuh, dia juga memiliki perusahaan dimana banyak orang yang menggantungkan hidup padanya.

"Tapi mo adek." Tetap merengek ternyata. Lihat saja matanya yang bersiap untuk menangis.

Melihat drama istri anaknya, Damar tersenyum tipis. Sejak Asa merengek minta adik, Damar sudah mempersiapkannya, mencari benda yang tepat dan akhirnya ditemukan dan sudah sampai padanya pagi tadi.

"Del, ada kotak warna putih di mobil. Bisa Mas minta tolong diambilkan ?"

Mengangkat sebelah alisnya bingung, Adel tetap menurut. Meski ragu, karena seingatnya dia tidak melihat kotak apapun di dalam mobil tadi. Tidak butuh waktu lama, Adel kembali dengan kotak berukuran sedang kemudian menyerahkannya pada sang suami.

"Sini dekat Papa." Pinta Damar pada Asa yang menatap penasaran lada kotak ditangannya.

Melihat Asa yang bersiap untuk melompat dari kursi, Adel dengan cepat mencegah. Kalau jatuh bisa bahaya, benjol kepala putrinya nanti. "Hati-hati. Jatuh sakit loh, nak."

"Asa endak sabal, maasih Mama tolong Asa bal endak jatuh." Tersenyum manis, Asa berjalan cepat keseberang meja.

Damar menaruh kotaknya diatas meja, sementara Adel melanjutkan kegiatannya. Memindahkan bakwan keatas piring dan menaruhnya bersma nasi dan lauk lainnya. Barulah setelah itu Asa mengambil nasi untuk suaminya.

"Mas, lauknya pake apa ?"

"Tumis kangkung sama tahu aja."

"Papa itu apa ?"

"Papa punya hadiah buat Asa. Tapi Asa harus janji enggak boleh nangis minta adik lagi."

Asa merenggut tidak suka. "Tapi Asa mo adek, Papa. Papa malin janji toh mo bat adekna Asa. Udah jadi adekna ?"

Ingatan anak-anak itu kuat, apalagi Asa. Yang kalau sudah ngotot maka akan susah untuk merubah keputusan ataupun keinginannya. Kudu di sogok dulu. Dan itulah yang akan Damar lakukan.

"Iya, tapi nanti. Kalau Asa sudah masuk SD, adeknya baru datang."

"Mana adekna ?"

"Adeknya dijaga dulu sama Allah, dikasihnya nanti kalau sudah SD."

"Emang iya ?"

Pasti akan panjang. Damar dan Adel yakin itu. Tidak ingin ambil pusing, Adel lebih memilih membuat jus. Siang siang menikmati jus, pasti menyegarkan. Biarlah sang suami yang mengurusi kecerewetan Asa, salah sendiri memancing keinginan Asa untuk memiliki adik.

"Iya. Makanya Asa harus rajin-rajin berdoa minta adik sama Allah. Juga jadi anak yang sholeha, rajin shalat juga. Okey anak Papa."

Asa mengangguk antusias, meski tidak sepenuhnya mengerti dengan kata kata ayahnya. Damar membuka kotak putih itu perlahan, mengeluarkan sesuatu yang membuat sang anak menjerit senang.

"BANEKA ADEK."

Tentu saja Asa berjingkrak senang, tidak lupa jeritan bahagianya kala melihat boneka bayi yang bisa membuka dan menutup mata.

"Yey, Asa dah puna adek. Adekna Asa cantik selti Asa. Yey yey yey. puna adek."

Asa memeluk senang boneka barunya.  Dan bergoyang kesana kemari.

Hanya sebuah hadiah kecil tapi mampu melukis senyum untuk putri mereka. Damar dan Adel bersyukur, Asa bisa tersenyum bahagia seperti saat ini, rasanya ingin menghentikan waktu agar Asa tidak lagi terlihat sedih walau apapun masalahnya.


.
.
.

Karena ide lagi nongol dan mood menulis bertingkat, akhirnya bisa Up. Maaf kalau ada typo yah, silahkan di koreksi agar bisa di perbaiki. Jangan lupa untuk kasih tanggapan kalian mengenai part ini.

See you....

Sweet Family ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang