CHAPTER TWENTY NINE | SICK

2.6K 155 6
                                    

Malam begitu dingin. Dinda terjaga dari tidur lelapnya setelah merasakan suhu ruangan yang hampir membuatnya membeku. Meraih remote AC di atas nakas Dinda menaikkan suhu ruangan sampai derajat tertentu kemudian meletakkan asal remote dan mencari posisi tidur nyamannya. Gelisah, itu yang Dinda rasakan, tubuhnya panas tapi ia merasakan dingin. Ia tidak betah dalam keadaan seperti ini, untuk kemudian menyingkap selimut dan berjalan menuju kamar tepat di depan kamarnya.

Dinda membuka pintu, mendapati seseorang tengah tertidur lelap di atas kasur king size berwarna abu-abu berpadu hitam. Tanpa permisi dan tanpa kata Dinda merebahkan tubuhnya di sana. Menarik selimut yang ditindih cowok tersebut, tak lupa guling dalam dekapan ikut ia ambil. Membuat cowok itu menggeram karena terganggu.

Kelvin mengerjapkan mata berulang, melihat bahwa sang kembaran yang melakukan hal tersebut ia tak ambil pusing. Membiarkan Dinda tertidur dengan dirinya menjauh dari posisi awal. Bukan karena apa, tapi tidurnya Kelvin itu seperti jarum jam. Kaki bisa di kepala, kepala bisa di kaki.

Entah kenapa Kelvin jadi tidak bisa tidur. Cowok itu berkali-kali mencari posisi nyaman tapi tak ada yang bisa dia dapatkan. Kelvin terbangun, melihat jam menunjukkan pukul 5 pagi. Rasanya tanggung untuk meneruskan tidur. Kepalanya terasa berat tapi ia paksakan untuk mengambil minuman di meja. Dari tempatnya berdiri Kelvin memperhatikan Dinda yang tengah meringkuk dengan selimut tebalnya. Padahal ia merasa panas tapi kenapa Dinda malah selimutan seperti itu? Tidurnya juga seperti orang gelisah. Lagi, ia juga merasa heran kenapa tiba-tiba Dinda ke kamarnya, sangat jarang sekali.

Kelvin mendekati Dinda, memperhatikan wajah Dinda yang berkeringat dan bibir bergetar. Tangannya bergerak memegang kening Dinda, seketika dadanya berdenyut hebat merasakan suhu tubuh Dinda yang panas.

"Din," panggilnya lirih. "Dingin?" lanjutnya.

Dinda mengangguk, ternyata cewek itu tidak benar-benar tertidur.

"Minum obat mau?"

Tak mendapat jawaban Kelvin bergerak membuka lemari berisi obat-obatan di kamarnya. Lemari khusus yang dibuat Bundanya untuk menyimpan berbagai macam obat, katanya sebagai pertolongan pertama. Zahra memang selalu membudayakan hidup sehat dan disiplin untuk anak-anaknya.

Kelvin menghampiri Dinda dengan segelas air putih dan obat di tangan kanannya kemudian menyuruh Dinda meminumnya. Dinda menurut, dengan tenaga yang ada ia mencoba duduk dan meminum obat tersebut.

"Apa yang sakit?"

"Pusing."

"Mau ke rumah sakit?"

Dinda menggeleng.

"Yaudah, istirahat aja. Kalau nanti masih pusing bilang ya, gue antar ke rumah sakit."

Dinda mengangguk pelan, kembali ke posisi berbaring, menarik selimut dan perlahan menutup mata. Entah kenapa tiba-tiba bayangan wajah Rendy berkeliaran dipikirannya. Membuat kesal sendiri.

-oOo-

"Ijin aja dulu gak usah sekolah, biar kakak yang ijinkan."

Mendengar perkataan sang kakak, Kelvin menurut saja. Pagi-pagi sekali cowok berusia 22 tahun itu sudah berada di rumah setelah mendapat kabar jika adik bungsunya sudah ditemukan. Fendy menyiapkan makanan di meja, ia sudah tau jika Dinda tengah sakit, dan yang membuatnya terkejut adalah ternyata Kelvin pun berkondisi sama. Kelvin juga ngedrop, mungkin karena kelelahan dan kurang istirahat.

Dengan hati-hati Dinda menuruni tangga kamar. Menuju ruang tamu setelah mendengar kebisingan di sana. Ia pikir kakak sulungnya datang dan ternyata ... Benar. Dinda menghampiri Fendy, memeluknya erat menyalurkan kerinduan.

"Maafin Dinda ya kak udah buat kakak khawatir."

Fendy membalas pelukan Dinda, dapat ia rasakan suhu panas adiknya itu. "Iya gak papa. Sekarang kamu istirahat aja ya."

Dinda mengangguk, melepas pelukan kemudian terduduk di sofa samping Kelvin. Dinda memperhatikan Kelvin yang tengah tengkurap di sana.

"Kelvin gak tidur di kamar aja kah?" tawarnya.

Dinda tak mendapat jawaban membuatnya mendengus kesal.

"Kelvin lagi gak enak badan. Biarin aja dia tidur dulu."

Dinda mengernyit. "Bisa barengan, ya?"

Fendy mengangkat bahu tak acuh. "Mentang-mentang kembar sakit juga harus barengan."

Dinda menyengir. "Mungkin Kelvin kecapekan gara-gara nyariin Dinda. Dinda jadi merasa gak tega."

"Kalau gak tega jangan diulangi lagi. Besok-besok nurut sama perintah Kelvin."

Dinda terdiam. Nurut dengan perintah Kelvin? Apa itu artinya dia harus menjauhi Rendy?

***

"Padahal gue udah menanti elo sekolah tadi. Tapi ternyata malah gak masuk. Sedih hayati," tukas Feysi di lebay-lebay kan. Hal tersebut membuat Sabrina, Dinda, dan Syila mendelik jijik. Mereka tengah berada di rumah Dinda sekarang. Menjenguk Dinda sebagai rasa solidaritas. Mereka tidak hanya bertiga. Teman Kelvin yang lain pun ikut menjenguk. Siapa lagi jika bukan Zeyn dan si kaleng soda, Galang.

"Gue kira Pak Bos gak bisa sakit. Ehh, ternyata bisa tepar juga ya," ucap Zeyn.

"Gue manusia bukan robot," ketus Kelvin.

Percakapan terus berlanjut. Mereka nampak begitu bahagia berada di rumah Kelvin. Selain nyaman, di sana mereka juga diperlakukan dengan baik seperti diberi makanan dan minuman apapun yang mereka inginkan. Tapi, itu semua mereka dapatkan jika ada Fendy atau orang tua Kelvin dan Dinda saja, karena sangat mustahil jika Kelvin mau repot-repot membelikan ini dan itu. Dan betapa beruntungnya mereka karena bertepatan saat itu juga orang tua Kelvin dan Dinda pulang.

"Banyak juga teman-temannya. Ini cewek-cewek cantik salah satunya gak ada yang jadi pacar Kelvin kah?" sindir Hermawan. Setelah mendengar kabar dari anak sulungnya jika anak kembarnya sakit ia langsung memutuskan untuk pulang. Baginya, keluarga di atas segalanya.

Galang, Zeyn, Dinda, Sabrina dan Feysi sontak bersorak bersamaan. Langsung menggoda Syila membuat cewek itu salah tingkah.

"Ayah cari aja yang paling cantik, itu pacar Kelvin," ucap Kelvin dengan santainya, melirik Syila yang duduk tepat di sampingnya.

Hermawan mengikuti manik mata Kelvin, setelahnya ia mengangguk berulang, sudah tau kalau Kelvin menyukai Syila.

"Beneran kamu mau pacaran sama Kelvin?" tanya Hermawan.

Syila menggeleng. "Enggak Om, Syila gak pacaran sama Kelvin. Kita temanan aja."

Mendengarnya Kelvin langsung menoleh.

"Temanan?" tanya Hermawan meyakinkan

Syila mengangguk mantap. "Hanya teman, Om."

Ini bukan yang pertama Kelvin mendengar penolakan Syila. Tapi entah mengapa kali ini rasanya berbeda, lebih sakit, dan menyesakkan. Ia melihat Syila begitu bersungguh-sungguh menolaknya. Apa Kelvin tak punya setitik ruang di hatinya? Setelah perjuangan panjang?

























TO BE CONTINUED

Kalau kalian jadi Syila gimana responnya kalau diakui Kelvin sebagai pacar? Ada yang mau kah? Atau... Jadi pacar aku? Awokwokwok

Rendy masih belum terlihat batang hidungnya, kira-kira tuh cowok ngumpet di mana ya? Penasaran? Ikuti terus ceritanya ya. Part selanjutnya diusahakan lebih greget.

Sekian.

See you next part gaes!!!

𝐀𝐃𝐈𝐑𝐄𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang