CHAPTER TWO | STRUGGLE

5.2K 251 2
                                    

Kalah dalam segala macam pelajaran kecuali penjas, mungkin itu definisi singkat dari kelas terpencil terpojok dan terpelosok di SMA Harapan Bangsa. Kelas XI—IPS 2 tempat sang ketua geng besar Zeleon berada. Juga kelas sang ketua geng besar Alatas—Rendy Arselio

Siapa yang tidak kenal Alatas? Komplotan bermotor yang terkenal di kota Samarinda dengan Rendy Arselio yang menjabat sebagai ketua di basis SMA Harapan Bangsa. Memang, geng mereka memiliki banyak anggota di setiap sekolah juga anggota lain di Universitas yang tersebar. Namun, tentu saja, kekuasaan tertinggi berada di SMA Harapan Bangsa—tempat sang ketua Alatas berada.

"Sabrina, Feysi, buruan masuk, bel udah bunyi loh," ucap Dinda memperingatkan para sahabatnya yang tengah berdiri di pagar pembatas. Pandangannya menunduk memperhatikan barisan siswa dari anggota Zeleon tengah dihukum massal. Baris paling depan ada Kelvin—Ketua Zeleon. Musuh bebuyutan Alatas. Hal yang membuat Dinda malu jika harus mengakui Kelvin sebagai kembaran.

"Din, sumpah ya, kakak lo itu pesonanya ngalahin Manu Rios dan antek-anteknya. Kira-kira kalau gue jadi ipar lo udah cocok belum?" celoteh Sabrina.

Dinda menggeleng pelan, lantas memasuki kelas lebih dulu, mengabaikan teman-temannya yang masih menonton Zeleon yang tengah diberi siraman rohani oleh Kepala Sekolah, membuat Dinda membatin, kenapa gak sekalian diberi siraman oli?

Beberapa menit kemudian anggota Zeleon dibubarkan, memberi keramaian disetiap koridor yang dilewati. Hal yang membuat beberapa kelas terganggu terutama kelas Dinda.

"Syila semangat!" teriak seseorang dari depan pintu kelas membuat seluruh pasang mata menatapnya heran, terkecuali Syila, cewek itu memilih mencatat tulisan yang ada di papan tulis, tak menghiraukan cowok yang memberi senyum semangat serta peach dari jarinya.

Syila sudah tak heran akan sikap Kelvin terhadapnya, cowok yang selalu cari sensasi dan suka menggoda para kaum hawa itu sama sekali tak menarik perhatiannya seperti halnya siswi lain. Apalagi cowok modus macam Kelvin itu bukanlah tipe-nya.

Bukan hanya kelas XI—IPA 1 yang terganggu, tapi kelas Kelvin sendiri pun merasa terganggu atas kehadiran mereka. Padahal hanya Kelvin, Zeyn, dan Galang, tapi kegaduhan sangat memekakkan.

Rendy, cowok yang duduk di kursi pojok kelas itu memilih menulikan telinga dengan menyumbat kan earphonenya lebih dalam lagi, mencoba acuh akan keributan yang semakin menjadi.

"Cel, kalau disuruh jadi penyakit, kamu mau jadi penyakit apa?" tanya Kelvin pada Cellin Clarista. Cewek berambut pirang biru dibagian ujungnya dengan seragam ketat hingga rok di atas paha itu memang mampu menarik iman para kaum Adam.

"Gak mau lah, ngapain juga jadi penyakit," jawabanya.

"Kalau aku mau jadi cacar."

Cellin mendengus. "Cacar air?"

"Bukan. Cacar kamu."

"Cieeee...,"

Seisi kelas riuh seketika, menyoraki Kelvin yang terlihat bangga akan aksinya. Hal itu sudah biasa Kelvin lakukan, jadi ia tidak merasa malu atau sungkan. Sedangkan Cellin yang digoda hanya menggeleng pelan, kembali fokus pada ponsel untuk live instagram menyapa para pengikutnya.

"Berisik," cibir Franky tak suka, ingin rasanya ia membabat habis mulut dan wajah songong anak-anak Zeleon yang bertingkah seenak jidat mbahnya sendiri. Andai Rendy tidak melarang dirinya atau anak Alatas untuk menyerang anak Zeleon, dapat ia yakini, anak-anak Zeleon pasti sudah bertekuk lutut di hadapannya saat ini.

Rendy mengeluarkan earphone dari laci lantas ia letakkan di meja, Menginterupsi Joey dan Franky untuk memakai, sekiranya hal itu dapat membuat sahabatnya ini tak tersulut emosi.

"Dih, kayaknya ada yang terganggu sama kedatangan kita nih," tukas Galang dengan suara yang dibuat-buat.

"Dari pada kita diem-dieman kayak quda ya mending kita meramaikan," timpal Zeyn dengan Kelvin yang tak segan memukulkan kayu kemoceng di meja, memberi keributan yang semakin menjadi. Padahal cuma tiga orang, tapi suara yang ditimbulkan sungguh luar biasa.

***

Melupakan kejadian tadi pagi. Istirahat ini Rendy memilih berada di belakang sekolah berbaring di bawah pohon besar di sana. Tempat sepi, sunyi, dan tak berpenghuni. Bagi Rendy, tempat ini jauh lebih nyaman dibanding harus berdesak-desakan di kantin, tapi lain cerita jika sudah ada orang lain yang membuntuti dan merecoki.

"Rendy di sini banyak nyamuk, kenapa tidurnya gak di kelas aja?" tukas Dinda, cewek itu membuntuti Rendy tanpa diminta. Sesekali terlihat cewek itu mengusap tubuhnya dan memberi pukulan ke udara kala seekor nyamuk terbang mendekati. Sedangkan lelaki yang tengah berbaring dengan mata tertutup itu terlihat tak terganggu sama sekali. Mungkin karena jumper abu tebalnya itu.

"Ish, sakit!" rintih Dinda kala ia tak sengaja menepuk pipinya keras, hanya karena ulah nyamuk sialan itu.

"Siapa suruh lo ke sini."

Suara datar itu membuat Dinda menoleh, ternyata cowok itu tak benar-benar tidur. "Dinda kan mau nemani Rendy aja di sini."

"Ada yang nyuruh?"

"Gak ada."

"Yaudah jangan berisik."

Dinda mendesis, Rendy memang tak pernah berubah dari pertama ia mengenalnya. Tidak ingin mengganggu, Dinda lebih hati-hati lagi memukul nyamuk di tubuhnya, hingga saat bintik-bintik merah itu bermunculan Dinda memilih menyerah.

"Rendy, Dinda balik ke kelas ya, di sini banyak nyamuk, Dinda udah bentol-bentol."

Tak ada jawaban, Dinda menghela napas berat, bangkit dari duduknya dan menatap sejenak cowok terebut. Padahal ia kira Rendy akan mencegahnya atau semisal memberi obat oles tapi ternyata, cowok itu tak memberi tanggapan sama sekali membuat Dinda melangkah pergi dan berpikir. Ia harus berjuang lebih keras lagi.









TO BE CONTINUED

Jangan lupa vote and komen gaes.

Ajak teman-teman kalian untuk membaca kisah ini. Kisah gadis petakilan yang memperjuangkan hati sang 'The fridge runs'.

𝐀𝐃𝐈𝐑𝐄𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang