CHAPTER SIXTY ONE | EVIDENCE

2.1K 170 40
                                        

"Anjim, dari tadi main kalah mulu. Yang bener lah mainnya," ujar Joey pada Franky, Abay, Hans dan Fadli. Kelima cowok itu tengah bermain game online sedangkan Rendy sibuk pada motor pelanggan yang digarapnya.

"Elo yang paling banyak mati pake nyalahin kita lagi. Gak guna lo laporin aja," ujar Abay.

"Sip, kalau ini sampai kalah kita laporin," timpal Franky.

"Jahat bener, temen laknat emang kalian. Hp gue ngelag. Habis ini kita main lagi gue pinjam hp Rendy biar mampus kalian semua!"

"Kentang. Hp aja minjam," ujar Hans.

"Yah, yah, yah tuh kan kalah. Bener-bener gak guna lo Joey. Udah ah kita maen berempat gak usah ajak Joey," ujar Abay.

"Jahat woy tungguin gue pinjam hp Rendy." Menoleh pada Rendy. "Ren, pinjam hp ntar gue login pake akun gue," pinta Joey.

"Gak usah macem-macem ribet," ujar Rendy masih sibuk pada pekerjaannya. Tangan cowok itu sudah kotor terkena oli.

"Bentaran doang," katanya tanpa mendengarkan penolakan Rendy, Joey mengambil ponsel Rendy yang terletak tak jauh darinya. Baru membuka lock screen Joey lantas membelalak, pelipisnya berkedut. "Anjim! Gak lihat gue pokoknya gak lihat!" teriak Joey meletakkan ponsel Rendy asal. Kedua tangannya terangkat seakan tidak ingin tahu apa yang baru saja dilihatnya. Wallpaper yang menunjukkan foto Dinda tengah selfie dengan Rendy yang hendak mencium pipi Dinda. Hal itu benar-benar membuat Joey geli setengah mati.

"Ngelunjak," ujar Rendy.

"Udah tau hp Rendy keramat. Jomlo kayak lo gak akan kuat lihat keuwuan orang lain," cerca Hans.

"Sealay-alaynya gue gak pernah tuh pasang wallpaper pake foto pacar berduaan yang mau cium-ciuman gitu."

"Iri bilang bos," timpal Franky.

Dering ponsel mengalihkan perhatian Rendy. Cowok itu mencuci tangan terlebih dahulu lalu cepat-cepat mengangkat telepon.

"Den, Ibu pingsan tolong cepat pulang!"

***

Langkah lebar membawa Rendy dalam kamar Mamanya. Setelah mendapat kabar itu ia langsung mengganti pakaian kerja dan segera pulang. Teman-temannya yang melihat hanya memberi tatapan bingung, bertanya pun Rendy tidak menjawab.

Hati Rendy bergetar melihat Mamanya berbaring di atas kasur. Wanita itu kembali lemas kehilangan tenaga. Rendy sangat tidak tega melihat kondisi Mamanya seperti ini. Meski penjaga rumah bilang Mamanya sudah sadar dan sekarang sedang beristirahat namun, tetap saja rasa khawatir itu menyerang dadanya.

Perlahan Rendy mendekat, mengelus pipi Mamanya sayang. Hingga kecupan singkat mendarat di kening wanita tersebut.

"Ma, Rendy sayang Mama. Jangan suka bikin khawatir. Harus bisa jaga diri. Maafin Rendy belum bisa jadi anak baik buat Mama."

Tidak tinggal seatap bukan berarti Rendy tidak memikirkan keadaan orang tuanya. Ia juga dibuat khawatir akan keadaan mereka. Terlihat dari Rendy yang selalu menelepon penjaga rumah untuk mengetahui kabar orang tuanya. Entah itu Mama atau Papanya.

"Apa harus menunggu Mama kamu begini dulu baru kamu pulang? Apa perlu Papa ikutan sekalian biar kamu bisa tinggal di rumah?"

Rendy menarik napas panjang. Menjauh dari tempat tidur agar ucapannya tidak menggangu Mamanya. Sedikit perkataan itu menyentil hatinya.

"Papa sama Mama emang salah tapi bukan berarti kamu harus jauh dari kami. Mama kamu paling butuh kamu di sini. Sudah berapa kali dia coba hubungi kamu tapi gak kamu respons? Berapa kali dia coba buat ketemu kamu tapi kamu selalu menghindar? Lihat keadaan Mama sekarang baru kamu nyesal?"

𝐀𝐃𝐈𝐑𝐄𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang