CHAPTER FORTY FOUR | DINDA AND PROSPECTIVE IN-LAWS

2.2K 154 5
                                    

"Bundaaaa Dinda pamit pergi, ya!"

Zahra menaikan satu alisnya heran. Tumben sekali anak gadisnya pergi pagi-pagi. Di tambah lagi penampilan Dinda yang tidak seperti biasanya. "Pergi ke mana?" tanyanya.

"Ada deh."

Zahra manggut-manggut. "Akhir-akhir ini Bunda lihat kamu sering sama Rendy. Kalian pacaran?"

"Bunda pasti gak percaya kalau Dinda bilang 'iya'."

"Ah, masa iya cowok kayak Rendy mau pacaran sama kamu. Orang kamu-nya manja gitu, kok. Yang ada nyusahin hidup dia ntar."

"Ihh, Bunda kok ngomongnya gitu sih. Dinda beneran pacaran tau. Ah, udahlah, emang gak pernah ada yang percaya sama Dinda."

Mengucapkan itu Dinda melenggang pergi sedangkan Zahra terkekeh di tempatnya sembari menggeleng pelan melihat tingkah anak gadisnya itu. Tak lama kemudian ia dibuat mengernyit saat Dinda kembali datang menghampiri. Dinda menyalami Zahra. "Assalamualaikum," ucapnya lantas bergegas pergi. Dengan umur segitu pun Dinda masih nampak menggemaskan.

-oOo-

"Lo mau ke mana, sih? Gue minta maaf kalau selama ini gue jahat sama Lo, sering pake barang-barang Lo. Lo boleh marah sama gue tapi jangan pergi."

Orang yang dimaksud tetap tidak menggubris, tangannya terus bergerak merapikan barang-barangnya ke dalam koper. Sedikit terganggu sebenarnya mendengar rengekan temannya ini.

"Ren, gue salah apa, sih?" tanya Abay lagi. Jujur, ia terkejut saat pagi-pagi sekali Rendy merapikan barang-barangnya. Ia dibuat penasaran. Tapi saat ditanya cowok itu terus mengatupkan bibir, enggan menjawab. Membuat Abay negatif thinking saja.

"Elah, jawab kek kalau ditanya. Ngomong gratis kok."

Rendy menghela napas kasar. "Gue pindah."

Abay membelalak. "Pindah? Pindah kostan maksud Lo? Kenapa? Lo gak mau ya satu kost sama gue? Gue jorok? Bau ketek? Kalau tidur ngajak gulat? Lo terganggu, ya?"

"Gue mau balik ke rumah."

Perkataan itu mampu menghentikan celotehan Abay. "Ke rumah? Kenapa? Lo gak betah ya sama gue?"

"Disuruh pulang nyokap."

Abay mendengkus. "Gini kek jawab kalo ditanya. Gue kan gak perlu over thinking kek tadi."

"Lo nya aja berlebihan."

"Berlebihan? Elo tuh yang kekurangan. Timbang diajak ngobrol aja kek lagi ditanya malaikat Munkar Nakir lu."

Rendy menghiraukan. Selesai sudah aktivitas berberes nya, kemudian cowok itu mengeluarkan ponselnya yang berdering dari saku celana.

"Rendy di mana? Dinda udah di rumah sakit, nih."

"Ngapain?"

"Ihh, kok ngapain, sih. Kan Rendy yang nyuruh tadi malam."

Rendy tampak mengingat, apa benar ia menyuruh Dinda ke rumah sakit hari ini? Namun nihil, ia tidak mengingat apa pun. Tapi, bagaimana bisa cewek itu ada di sana?

"Tunggu bentar, jangan ke mana-mana, gue otw."

Selepas sambungan telepon terputus Rendy mengecek room chatnya. Dan benar, ada pesan terkirim bahwa ia mengajak Dinda ke rumah sakit untuk menjenguk Mamanya. Rendy memijit pelipisnya, ini pasti kerjaan Mamanya. Karena semalam ia tidur di sana dan ponselnya ia letakkan di meja samping brankar. Mamanya pasti sengaja mengecek HP Rendy yang tidak dikunci.

Cowok itu menyaut jaket maroon dari balik pintu lalu bergegas pergi. Ia harus memastikan bahwa Dinda aman di sana.

-oOo-

Desti tersenyum mendengar cerita Dinda tentang anak tunggalnya itu. Ia pikir gadis di depannya ini jauh lebih tau banyak tentang Rendy ketimbang dia ... Mamanya sendiri.

"Rendy juga terkenal pintar lho Tan di sekolah. Dia sering ikut olimpiade-olimpiade gitu, dan pasti menang. Puncaknya waktu dia berhasil bawa piala juara satu dari olimpiade matematika. Keren gak tuh, Tan?"

Semburat kekecewaan menggores hatinya. Ia merasa gagal menjadi Ibu. Ibu macam apa yang tidak tau prestasi anaknya yang membanggakan itu? Desti menyesali perbuatannya, menyesal karena terlalu sibuk mengurusi pekerjaan bisnisnya sampai mengabaikan kewajibannya mengurus keluarga. Sedari Rendy masih kecil Desti selalu mengesampingkannya. Ia tidak bisa memantau kapan Rendy kecil belajar merangkak, berjalan, bahkan tumbuh besar menjadi lelaki membanggakan seperti sekarang. Finalnya saat neneknya Rendy meninggal. Rendy memilih hidup sendiri. Cowok itu pergi dari rumah tanpa mau mengabari. Lambat laun ia mulai sadar akan perbuatannya, ia begitu merindukan anak semata wayangnya itu. Desti sangat ingin memperbaiki semuanya.

"Kalau teman-temannya gimana?" tanya Desti berusaha mengorek jauh informasi tentang anaknya itu.

"Teman-teman Rendy baik semua kok, Tan. Dinda lihat Rendy juga senang bergaul sama mereka."

Desti mengusap pipi Dinda membuat Dinda tersentak. "Tante pikir kamu tau lebih banyak tentang Rendy."

Dinda meringis, malu kalau diingat dulu dia adalah seorang stalker. Untuk mencari informasi tentang Rendy itu bukan hal yang mudah.

"Gue suruh Lo tunggu di bawah. Kenapa bisa ada di sini?"

Dinda menoleh, sedikit terkejut saat melihat Rendy sudah berdiri di sampingnya.

"Eemm anu..."

"Mama yang nyuruh dia ke sini."

Rendy menghela napas, sudah ia duga dari awal kalau ini semua adalah rencana mamanya.

"Yaudah tunggu sini, gue mau cari makan."

Dinda membentuk lingkaran dengan jari telunjuk dan jempol tanda setuju. Setelahnya cowok berjaket maroon itu keluar ruangan. Membiarkan dua orang di dalamnya kembali berbincang. Ia tau bahwa mereka sedang membicarakannya. Bahkan ketika ia kembali secara terang-terangan mereka membicarakannya, Rendy pikir mamanya begitu ingin tahu kehidupannya selama ini. Dalam hati ia tersenyum miris, sedikit terluka ketika orang tua sendiri tidak tau menahu tentang anaknya.

"Mama udah makan?" tanya Rendy perhatian.

"Udah."

Rendy mengeluarkan beberapa snack yang dibelinya tadi serta beberapa minuman lalu meletakkannya di meja. Setelahnya ia mengeluarkan dua kotak makanan dan diberikan pada Dinda.

"Makan."

"Makasih Rendy, tapi Dinda gak lapar."

"Lo belum makan kan?"

Dinda menyengir. "Kok Rendy tau sih? Cenayang, ya?"

"Ck, buruan makan Dinda."

"Masalahnya Dinda lagi program diet, Ren."

Rendy mendengkus. "Apa lagi yang mau di kecilin? Badan udah kek sapu lidi gitu masih mau diet?"

Dinda merengut, perkataan Rendy tepat menyentil hati. Tapi, masa iya sekecil itu sih badannya? Perasaan terakhir timbang berat badannya lima puluh kilo. Dengan berat' hati Dinda menerima makanan itu, begitupun Rendy, cowok itu juga ikut makan dan memilih duduk di sofa.

"Rendy perhatian ya sama kamu," ucap Desti tersenyum.

"Perhatian banget, Tan. Dia suka antar jemput Dinda ke sekolah, kalau ke kantin suka jemputi Dinda ke kelas, suka telpon Dinda, nanyain kabar Dinda, terus suka ngajak jalaaaan," ujar Dinda penuh dusta. Sengaja dia berkata demikian untuk menyindir cowok tersebut. Karena nyatanya, sikap Rendy itu kebalikan dari yang ia ucapkan. Saat berbicara matanya pun tak segan melirik Rendy yang tengah makan.

"Wah, so sweet ya dia," balas Desti disertai kekehan. Ia tau bahwa Dinda hanya bercanda. Rendy tidak mungkin melakukan hal demikian.

"Ngegosip terus, mati gue lama-lama keselek toge," tukas Rendy keki sendiri. Apa-apaan Dinda, sindirannya nyampe ke hati banget.













TBC

Tuh gak usah diet kata Rendy 😅

𝐀𝐃𝐈𝐑𝐄𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang