CHAPTER FORTY | HOME WITH ARDA?

2.3K 147 6
                                    

Malam ini Dinda memutuskan untuk ke rumah Syila. Setelah mendapat kabar dari Feysi tadi membuat Dinda tak tenang jika harus berdiam diri tanpa memastikan keadaan sahabatnya itu. Meski Rendy bilang Syila butuh waktu untuk sendiri, tapi menurut Dinda, Syila butuh seseorang untuk menghibur dirinya.

"Assalamualaikum," salam Dinda sembari memencet bel rumah Syila berulang. Sekitar hampir lima menit menunggu akhirnya terdengar suara pintu dibuka. Melihat orang yang membuka pintu, Dinda membinarkan mata senang. Tapi detik setelahnya ia membelalak lantas menahan pintu saat orang itu hendak menutup pintunya kembali.

"Ehh, Syil, kok mau ditutup sih pintunya. Dinda mau ketemu sama Syila."

"Mending lo pulang. Gue gak mau ketemu lo!" ketus Syila.

"Gak mau! Dinda mau ketemu Syila!" balas Dinda tak kalah tajam.

"Tapi gue gak mau ketemu lo! Gue jahat Dinda. Penghianat kayak gue gak pantas temenan sama lo!"

"Syila gak jahat, Syila bukan penghianat. Syila teman Dinda, sahabat Dinda," ucap Dinda murni dari hatinya yang terdalam. Seketika pertahan Syila mulai mengendur, cewek itu tak lagi berusaha menutup pintu, tangisnya pecah bersamaan dengan dirinya yang menghambur dalam pelukan Dinda. Dinda membalas pelukan itu lembut, mengelus kepala Syila menenangkan.

"Maafin gue, Din. Gue gak bermaksud ngerebut Rendy dari lo. Gue juga gak pernah minta buat jatuh cinta ke dia, tapi perasaan gue yang gak bisa dikendaliin," tukas Syila. "Gue udah berusaha buka hati buat Kelvin seperti yang kalian minta. Tapi kenapa di saat gue udah ada rasa keadaannya malah begini? Kelvin marah sama gue Din, dia diemin gue, dia salah paham."

Dinda melepas pelukannya lalu menangkup wajah Syila dengan kedua tangannya. "Gak mau cerita di dalam aja? Malu kalau ada yang lihat," tukas Dinda dan diangguki setuju Syila. Kemudian Syila mengajak Dinda ke kamarnya.

"Yang maksud Syila salah paham itu apa?" tanya Dinda, cewek itu kini tengah duduk di kasur Syila yang terbilang empuk dan nyaman.

"Di perjalanan menuju sekolah gue ketemu Joey. Cowok itu nitipin bekal Rendy yang katanya dari bosnya. Joey nitip gitu aja habis itu pergi gak tau ke mana, dia bilang sih ada urusan. Jadi yaudah pas sampai sekolah gue mau taroh bekal itu di laci Rendy, tapi keburu di tarik Cellin. Cellin langsung nuduh gue dan ngata-ngatain gue yang enggak-enggak seperti yang lo dengar."

Mendengarnya Dinda tersenyum tipis. Dari awal dia sudah yakin kalau Syila tidak sejahat apa yang dikatakan Cellin. Syila itu pendiam, kalem, sekalinya dia berkata panjang lebar seperti ini membuat Dinda takjub.

Dinda menghapus air mata Syila. "Syila jangan sedih lagi, ya. Dinda percaya kok sama Syila, dan sama sekali gak mempermasalahkan kejadian tadi."

"Tapi, lo sama Rendy?"

"Kita udah jadian," ujar Dinda dengan senyuman. Sontak hal itu membuat Syila terkejut. Syila menarik Dinda dalam pelukannya, sekali lagi tangisnya pecah. Bohong kalau dia tidak sakit hati atau semacamnya, tapi semua itu bisa diminimalisir dengan ikut bahagia sebagai sahabat yang melihat sahabatnya senang. Dari awal Syila juga sudah yakin kalau Dinda memiliki potensi lebih untuk mendapatkan Rendy. Semua itu terlihat dari keberanian dan keoptimisannya.

"Rendy nembak lo?"

"Iya," jawab Dinda mengangguk. Kemudian ia melepas kembali pelukannya. "Syila jangan sedih lagi, ya. Untuk masalah Kelvin, mungkin dia butuh penjelasan. Dinda yakin Kelvin akan maafin Syila kalau Syila mau berusaha."

"Iya, Din. Kali ini gue bakal berusaha gapai apa yang gue mau. Gue bakal berusaha dapatin maaf Kelvin kayak elo dapatin Rendy."

Setelahnya senyum terukir di wajah keduannya. Dinda pikir Syila jauh lebih baik sekarang dari apa yang ditemuinya tadi. Benar'kan? Yang dibutuhkan orang seperti ini itu bukan waktu sendiri, tapi orang untuk menghibur atau sekadar mendengar cerita, keluh kesahnya.

𝐀𝐃𝐈𝐑𝐄𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang