CHAPTER FIFTY | FUTURE GOALS

2.6K 179 18
                                    

"Lo kan anak orang kaya minta apa-apa pasti dikasih, masa depannya juga terjamin. Terus buat apa Lo kerja? Gue pikir setelah Lo balik ke rumah Lo bakalan resign," tanya Abay pada Rendy.

"Masalah?" tanya Rendy balik.

"Enggak sih. Gue cuma heran aja. Emang orang tua Lo ngijinin, ya?"

Saat ini Rendy sedang sibuk membuat robot, mengaitkan satu kabel ke kabel lain, memasang laser yang nantinya bisa ditembakkan oleh robot, dan lainnya. Salah satu kegemaran cowok itu membuat barang-barang elektronik dari bahan seadanya. "Mau mereka gak ngijinin juga gue bakal tetap kerja. Lagian ngapain juga di rumah, bosen, gak ada yang bisa dikerjain. Mending begini masih bisa menghasilkan duit."

"Gue jadi elo sih mending santai-santai aja. Gak mau kerja berat begini, paling ikut kursus buat nerusin usaha bokap," tukas Abay.

Dari banyaknya anak Alatas kehidupan Abay bisa dibilang paling susah. Dia anak rantau, ayahnya meninggal saat dia berumur lima tahun. Bisa dibilang dia menjadi tulang punggung keluarga sekarang, menghidupi Ibu dan dua adiknya. Beruntung dia tidak sendiri, dua kakaknya pun ikut membantunya.

"Joey sama Franky contohnya, mereka kan santai-santai aja gak kerja kayak elo."

"Tiap orang beda, Bay. Kalau ada hobby yang nyantol di hati susah buat dilepasin."

"Emang cita-cita Lo apa sih, Ren?" Kini ganti Fadli yang bersuara.

"Lo tau Eyang Habibie?" tanya Rendy. Fadli mengangguk. "Tanggapan Lo tentang dia apa?"

Fadli mulai berpikir. "Apa, ya? Hebat, genius, dan ... Luar biasalah pokoknya. Apalagi waktu dia diusir dari negara sendiri sampai akhirnya dia bikin bangga dan malah ditarik balik, disitu dia hebat banget."

"Gue juga mau begitu," ujar Rendy membuat Fadli, Abay, Joey, Franky, dan Hans terdiam. "Gue pengen kayak dia. Awalnya dibuang dan gak diinginkan tapi endingnya dia jadi orang yang paling membanggakan."

Fadli menjentikkan jari setelah paham apa yang dimaksud Rendy. "Ah, gue baru ingat. Di kamar lo waktu itu banyak banget miniatur pesawat, ternyata lo pengen ngerakit pesawat, ya?"

"Gila sih, pantas aja lo suka bener-benerin kendaraan atau barang elektronik. Cita-cita lo boleh juga," timpal Joey.

"Pantes juga kalau gabut Lo suka bikin pesawat kertas di kelas," sambung Franky.

"Gak kayak Lo kalau gabut malah molor," ujar Abay pada Franky.

"Sok tau lo, satu sekolah aja enggak."

"Emang bener, lo kan kalau gabut suka tidur. Beruntung aja punya temen kayak Rendy. Nilai Lo aman sampai sekarang," tukas Joey membenarkan perkataan Abay.

Fadli menepuk bahu Rendy. "Gue dukung," ucapnya memberi semangat.

Ini lah alasan kenapa Rendy lebih nyaman bersama teman-temannya dibanding keluarga. Karena hanya teman-temannya lah yang mengerti dan mendukung apa yang ia inginkan. Tidak seperti orang tuanya yang selalu memaksakan kehendak dengan menyuruh Rendy untuk meneruskan bisnisnya. Sedari kecil Rendy sudah dicekoki oleh pelajaran-pelajaran bisnis, bergabung bersama orang-orang asing yang membahas investasi. Berulang kali ia menolak dan berulang kali itu pula orang tuanya memaksa. Hingga tiba saatnya Rendy berani memberontak, tidak lagi mengikuti les dan pertemuan penting ayahnya. Sebenarnya mereka tau cita-cita Rendy, menjadi seorang perakit pesawat. Tapi mereka menganggap remeh hal tersebut. Mengesampingkan apa yang Rendy mau dan memprioritaskan ego mereka sendiri.

"Gue pikir orang tua lo bakal nyuruh lo jadi pembisnis," kata Franky. Tanpa disadari hal itu benar adanya.

"Awalnya emang begitu, tapi gue gak mau," jawabnya diikuti senyum masam setelahnya. Dan Franky tidak lagi berucap setelah melihat senyuman itu.

𝐀𝐃𝐈𝐑𝐄𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang