CHAPTER FIFTY NINE | SORRY

2.5K 157 30
                                        

Mata itu perlahan terbuka bersamaan rasa nyeri luar biasa dari lengannya. Kalimat seseorang terus saja mengusik ketenangannya hingga memaksanya bangun.

"Rendy kamu udah sadar? Apa yang sakit? Perlu aku panggilin dokter?" Cewek itu terbangun saat merasa ada pergerakan dari tangan yang digenggamnya.

Rendy tidak melanjutkan kalimatnya, rasa membuncah di dada itu meredup seketika. Seseorang itu bukan lah orang yang diharapkan.

"Aku panggilin dokter, ya, Rendy."

"Gak usah, Ra."

Aura Fenita Arie. Cewek itu lah yang kini berada bersama Rendy.

"Lo dari tadi di sini?" tanya Rendy, nada bicaranya masih terdengar lemas.

Aura mengangguk. "Iya. Aku selalu jagain kamu di sini."

Rendy masih tidak yakin. Bukan kah tadi ia mendengar suara Dinda? Kenapa jadi Aura?

Seperkian detik ingatan Rendy jatuh pada kejadian yang membawanya ke kondisi saat ini. Saat di mana hubungan keluarga ada diujung tanduk juga saat ia melaksanakan aksinya. Semua terasa begitu menyakitkan. Sampai decitan pintu mengalihkan perhatian Rendy dan hal itu mampu membuat lukanya kembali menganga.

"Ma, Pa, Rendy ikutin mau kalian. Karena memang benar, gak ada yang perlu dipertahankan lagi dari keluarga ini."

***

"Semalam anak Garuda manas-manasin ngajak ribut. Untung aja Bang Feri bisa handle semua kalau enggak udah pada bonyok mereka sama gue," ujar Joey dengan entengnya. Padahal semalam ia sudah ketar ketir melihat Garuda datang keroyokan.

"Omongannya doang setinggi langit. Kenyataannya menciut di belakangnya Fadli," ujar Abay.

"Gue ngelindungi Fadli. Siapa tau tiba-tiba mereka nyerang kan gue bisa tarik Fadli pergi."

"Alesan."

"Gak percayaan lo sama gue."

"Ngapain juga percaya sama, lo. Jatuhnya musyrik tau gak, lo?" sahut Hans.

"Pojokin aja terus gue. Emang gue selalu salah kalian doang yang maha benar. Dibilangin gue siap siaga pada gak percaya."

"Ada Arda juga?" tanya Rendy.

Franky menggeleng. "Gak ada. Anak buahnya doang. Kelihatannya lagi mabuk sih orang omongannya aja ngelantur, bawa senjata tajam lagi. Makanya kita yang cuma pakai tangan kosong milih mundur. Bisa bahaya. Lengah dikit aja mungkin udah tinggal satu gedung sama lo di sini."

Garuda itu memang seperti itu, seenaknya dan semaunya sendiri. Gak beda jauh dari Zeleon. Tetapi menurut Rendy Zeleon itu lebih bisa diatasi karena anaknya bisa dibilang jauh dari hal terlarang. Tidak seperti Garuda barang haram bagi mereka itu biasa.

"Nah, makanya gue jagain Fadli!" ujar Joey.

"Iya gue percaya," ujar Rendy.

"Nah, ini baru sohib. Pak Ketua emang paling the best," kata Joey mengacungkan dua jempolnya.

"Terpaksa dia mah biar lo diem," ujar Fadli.

Dan benar saja, raut wajah Joey langsung berubah masam. Damagenya Fadli benar-benar nyampe ke hati.

Ricuhnya anggota Alatas sedikit bisa menghibur perasaan Rendy. Cowok itu sesekali tersenyum atau tertawa. Hanya sedikit, karena selang beberapa saat pikiran Rendy kembali mengusiknya.

"Gak ada yang jenguk gue?"

Sontak pertanyaan itu membuat mereka cengo.

"Terus lo anggap kita ini apa? Penghuni rumah sakit? Suster yang lagi ngecek pasien atau dokter yang mau suntik mati, lo?!" tanya Hans tak santai. Begitu pula Abay yang tiba-tiba lari kepojokan sembari menangkupkan tangannya.

𝐀𝐃𝐈𝐑𝐄𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang