CHAPTER FIFTY EIGHT | PAIN 2

2.7K 184 60
                                    

Kelvin masih dalam kepanikannya, sehabis menghubungi teman-temannya cowok itu tak berhenti mondar-mandir di depan pintu IGD berharap orang di dalam sana dapat terselamatkan mengingat begitu banyak darah yang terbuang, bahkan tidak sedikit darah yang mengenai jumpernya.

Duduk di bangku, lalu berdiri, begitu terus sampai pertanyaan Franky memancing emosinya. "Rendy kenapa?" tanya Franky yang baru datang bersama Galang, Zeyn, dan Joey. Sehabis mendapat telepon dari Kelvin Galang langsung menghubungi Franky dan tentu saja Franky mengabarkan itu pada anak Alatas lain.

"Temen lo itu bener-bener gak ada otak, ya! Kelahi aja pinter tapi giliran bertahan hidup begonya minta ampun! Gak salah gue bilang dia bodoh selama ini. Sampah memang!" ketus Kelvin mengeluarkan unek-uneknya.

Franky yang ikut terpancing memajukan tubuhnya. "Maksud lo apa ngomongin Rendy kayak gitu, hah?! Tau apa lo tentang Rendy? Lo itu gak lebih dari mus-"

"Dia ngiris tangannya sendiri, bitch! Di kamar mandi rumahnya dia udah kayak orang gak punya semangat hidup! Lo gak akan tau sebodoh apa temen lo itu mau nyakitin dirinya sendiri. Dia hampir mati!!" Napas Kelvin memburu, dadanya kembang kepis menahan letupan-letupan dahsyat. Rasanya perlu pelampiasan, meninju sesuatu tapi bukan samsak.

Apa mereka tidak salah dengar?

Franky yang awalnya balas mencibir pun tiba-tiba bungkam. Bibirnya tertutup rapat dengan mata sedikit melotot saking terkejutnya, begitu pula Galang, Zeyn, dan Joey.

Bibir Franky bergetar lalu berkata, "Jangan bohong, Rendy gak mungkin ngelakuin itu."

"Kalau gue bohong untuk apa gue susah-susah bawa dia ke sini. Untuk apa gue telepon Galang buat kasih tau kalian semua sama keadaan ketua bego kalian itu?!"

"Vin, kecilin suara, lo. Ini rumah sakit," ujar Galang menenangkan.

"Siapa bilang ini rumah nenek, lo?!" seloroh Kelvin, memilih duduk di kursi panjang yang tersedia di sana.

"Dia lagi gak ngelawak jadi gak usah ketawa," ujar Galang pada Zeyn yang sedang menahan diri untuk tidak tertawa. Sangat tidak elit kan dalam situasi seperti ini malah ketawa?

Joey menepuk bahu Franky dan sedikit menggoyangkannya. "Kita gak bisa apa-apa selain doa. Rendy pasti punya alasan kenapa dia ngelakuin itu."

"Harusnya kalau ada masalah dia cerita sama kita. Dia yang selalu nyuruh kita buat terbuka, tapi kenapa malah begini? Merasa gagal gue jadi temen."

"Bukan cuma lo yang ngerasa begitu, gue juga. Gue udah hubungi anak Alatas lain, bentar lagi mereka datang." Joey menghampiri Kelvin lalu berdiri di hadapannya. "Temen-temen gue bakal datang, gue harap untuk saat ini gak ada keributan," katanya.

Kelvin berdecih. "Gue gak sebodoh ketua lo itu buat cari keributan di saat kayak gini."

Joey menyunggingkan senyum. "Bagus, makasih pengertiannya."

Pada dasarnya kekuatan terbesar adalah doa dan berserah diri pada yang kuasa. Kelima cowok itu hening dalam pikirannya masing-masing. Sekadar untuk melafalkan doa sekaligus bertanya-tanya akan masalah Rendy hingga seperti ini.

Kelvin menutup wajah dengan dua tangannya yang berpangku pada paha. Pikirannya kacau balau, jumper yang tadi berlumuran darah kini telah ia lepas menyisakan kaos hitam. "Arghh," erang Kelvin mengacak-acak rambutnya saat kejadian tadi terus berputar di otaknya. Rendy yang jatuh dalam dinginnya ubin, sebuah kaca di tangan, dan luka sayatan yang ... Entahlah. Apalagi kalimat terakhir cowok itu sebelum menutup mata.

Gue harap itu bukan permohonan terakhir, lo. Batinnya.

Decitan pintu terdengar, segera kelima cowok itu bangun dari lamunannya. Mengerubungi seorang dokter yang baru saja keluar. "Apa ada keluarga pasien di sini?"

𝐀𝐃𝐈𝐑𝐄𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang