CHAPTER THIRTY FOUR | DILEMMA

2.6K 171 5
                                    

"Rendy kok berhenti di sini. Katanya mau ngasih tau Dinda selama ini Rendy ke mana?" cerocos Dinda saat Rendy menghentikan motornya di tepian.

Tadinya Rendy memang ingin memberi tau. Tapi setelah ia pikir-pikir lagi ini bukan waktu yang tepat untuk itu. Ia belum siap.

"Rendy jawab dong pertanyaan Dinda."

"Yang mana?" tanya Rendy, selepas melepas helm.

"Kenapa jadi ke sini?"

"Makan dulu."

Dinda membinarkan mata. Rendy mengajaknya makan? Yang benar saja! Tanpa banyak berpikir Dinda mengangguk setuju. Kesempatan ini tidak akan ia lepas begitu saja. Kapan lagi makan bersama Rendy? Berdua.

"Bang, nasi goreng satu sama es teh dua."

Dinda menoleh pada cowok yang duduk di hadapannya. "Kok cuma satu. Rendy gak makan kah?"

"Enggak."

"Kenapa?"

"Lo aja makan."

"Ish, tapi kenapa? Rendy gak lapar kah? Atau sudah makan? Atau Rendy gak mau makan bareng Dinda?"

Rendy menghela napas berat. "Uang gue gak cukup Dinda."

Dinda termenung. Harusnya dia tau kalau Rendy itu hanya anak kost. Untuk memenuhi biaya hidup pun Rendy harus bekerja mandiri. Itu yang Dinda tau dari teman-temannya. Hal yang membuat Dinda makin cinta.

"Kalau gitu biar Dinda traktir deh."

"Gak usah. Lo makan aja."

"Tapi kan gak enak. Masa Dinda makan Rendy cuma lihatin aja."

"Lo makan sendiri aja, Dinda."

Jika Rendy sudah menyebut namanya, Dinda tak bisa berbuat banyak. Ia jadi tak enak hati menerima tawaran cowok itu tadi.

"Bang, nasinya satu lagi ya," pinta Dinda. Hal itu membuat Rendy menoleh. "Dinda beli sendiri. Kalau Rendy gak mau ditraktir kita bayar sendiri-sendiri aja."

***

"Arda pernah ngapain lo?"

Pertanyaan yang membuat Dinda memalingkan perhatian dari jalanan pada cowok di sebelahnya. Kini mereka sudah berada di tepian. Dinda masih mencerna perkataan Rendy. Cowok itu terlihat tenang, seperti biasa. Dinda berusaha berpikir keras. Jarang-jarang Rendy menanyainya seperti ini.

"Rendy tau tentang penyekapan itu?"

"Lo tinggal jawab pertanyaan gue."

Dinda menggeleng. "Enggak, Arda gak pernah ngapa-ngapain Dinda. Arda baik. Dia memperlakukan Dinda dengan baik di sana."

Mendengarnya membuat Rendy menaikkan satu alisnya. Kali ini menghadap Dinda. "Baik?" ucapnya dengan nada mengejek.

Dinda mengangguk mantap. "Iya. Meskipun orang-orang menganggap kalau Arda itu jahat, tapi Dinda tau kalau sebenarnya Arda itu baik." Rendy melihat Dinda mengatakan dengan bersungguh-sungguh. "Dia asik. Seru kalau diajak ngobrol. Enak juga kalau diajak curhat."

Rendy berdehem. Entah kenapa setelah mendengar ucapan Dinda seperti ada yang menohok kerongkongannya. Rendy membuka minuman kalengnya yang tadi ia beli. Kemudian menyenderkan tubuh pada pembatas dan meneguk minumannya sedikit.

Dinda memperhatikan Rendy dari samping. Ia terkagum. Dilihat dari sisi manapun Rendy tetap lah tampan. Hidung mancung, kulit putih, rahang kokoh, dan rambut yang sedikit acak-acakan itu mampu membuat Dinda jatuh cinta hingga sedalam ini.

𝐀𝐃𝐈𝐑𝐄𝐍Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang