LIMA

283 35 3
                                    

Happy Reading!

Sita bisa merasakan setelah ia menubruk dada bidang yang dibaluti kemeja putih bersih itu, kedua bahunya di cekal dengan cekatan oleh tangan kekar.

Ia mendongak, mendapati pemuda dengan kaca mata bertengger di pangkal hidung mancungnya itu. Alis yang tidak terlalu tebal, bulu mata yang tidak terlalu lentik serta bibir merah muda yang pemuda itu miliki membuat Sita diam memandangi wajah didepannya.

"Jalan hati-hati." Ujar pria itu lalu melepaskan cekalannya.

Sita terkesiap, dengan gerakan kikuk ia mengangguk.

"Cogan nih." Bisik Andini dibelakangnya.

"Kalian anak baru?" Tanya pria berkulit kuning langsat itu.

Mereka berdua mengangguk, lalu berjalan melewati pria yang masih berdiri diambang pintu itu.

Setelah berbincang banyak tentang mengapa kakak-beradik itu memilih bersekolah di SMA Cakrawala pada kepala sekolah, mereka di perbolehkan keluar ruangan dan diminta untuk bergegas menuju kelas baru mereka.

Saat membuka pintu, mereka di sambut oleh pria itu lagi. "Ayo biar saya antarkan." Ucapnya terdengar seperti pernyataan.

Sita hendak menolak tapi ia urungkan karna Andini yang mengangguk terlebih dahulu dan dia 'pun tak tahu menahu dimana kelasnya berada.

Perjalanan dimulai, dengan posisi Andini berjalan bersisian dengan pria ber-logo XI di lengan kirinya itu menandakan dia satu angkatan dengan Sita.

Lalu dimana Sita?

Gadis yang menggendong ransel hitam itu memilih berjalan dibelakang mereka. Dia bukan Andini yang menjadi ulat bulu saat bertemu pria tampan.

"Yang kelas sebelas siapa?"

Sekian lama berjalan dalam keterdiaman, pria ber nametag Alif Abraham itu bertanya.

"Kakak saya, kak." Jawab Andini cepat sambil senyam senyum bak orang gila.

"Jadi kalian sodara gitu? Pantes mirip ya." Ujar Alif. "Siapa nama kamu?" Lanjutnya bertanya pada Andini.

Dengan suka rela Andini mengulurkan tangannya. "Perkenalkan nama saya Andini Larasvati." Gadis itu memperkenalkan kala jabatan tangannya sudah di terima oleh Alif.

Alif mengangguk, melepaskan jabatan tangan terlebih dahulu. Pria itu nampak membalikkan badannya lalu mengulurkan tangan pada Sita. "Kalo kamu?"

Sita bergidik ngeri kala mendengar kata 'kamu' yang pria itu ucapkan. "Sita." Jawabnya acuh. "Dan gue lebih nyaman gak pake panggilan formal." Lanjutnya frontal.

Alif tersenyum kecut, menarik tangannya kembali yang tak tersentuh sesikit 'pun oleh Sita. Lantas pria itu berbalik badan kembali. Fokus pada perjalanan menuju kelas Andini berada.

Mereka berhenti melangkah kala sudah berada tepat di depan pintu yang tertutup, yang diatasnya tertulis X IPS 2.

"Ini kelas kamu ya." Ucap Alif. Andini mengangguk. "Belajar yang bener ya." Lanjutnya memberi pesan sebelum benar-benar hilang di tikungan menuju tangga.

"Kelas kita emang letaknya di lantai dua." Alif berbicara saat sudah mencapai koridor yang menjejerkan ruang kelas sebelas itu.

"Kalo lantai tiga itu anak kelas dua belas yang isi, biar gak terlalu keganggu sama yang lagi praktik di lapangan." Lanjutnya. "Lo beruntung sekolah disini, karna fasilitasnya lengkap banget. Lo bisa..."

Belum selesai penjelasan yang Alif lontarkan, Sita terlebih dulu memotongnya.

"Bisa langsung anterin gue aja?" Tanya Sita kelewat datar.

Alif mengangguk dan tersenyum kecut lagi. "Lo anak Ips 'kan?"

"Iya."

[][][]

Empat jam pelajaran kelas yang gadis itu tempati tak kedatangan guru. Alhasil membuat kelas menjadi bising dan tak beratur.

Anggota kelas berhamburan sana-sini. Sebagian siswi memisahkan diri berkumpul di belakang untung bergosip ria, dan sebagiannya lagi duduk di kursi masing-masing dengan kepala menunduk menatap ponsel.

Para siswa laki-laki memilih duduk lesehan di bawah papan tulis dengan memainkan empat buah monopoli.

Sita yang menjabat menjadi murid baru hanya bisa duduk di kursi barisan terakhir dengan memandangi mereka saja. Suasana seperti ini sudah menjadi hal biasa yang ia rasakan. Bedanya jika di medan, ia menjadi bagian dari gerombolan mereka.

Kring.. kring..

Bel tanda jam istirahat 'pun berbunyi nyaring seantero sekolah. Para siswa-siswa berhamburan keluar, meninggalkan aktivitasnya begitu saja.

Sita yang belum mendapatkan teman hanya duduk tanpa berniat keluar. Sebenarnya ada beberapa yang mengajaknya untuk bergabung jika akan ke kantin tapi Sita menolak.

Gadis itu memilih merebahkan kepalanya saja di tekukkan kedua lengannya. Memejamkan mata, berniat untuk tidur siang di kelas yang sepi, tapi baru saja matanya terpejam, gebrakkan di mejanya membuat Sita terjolak kaget dan membuka mata.

Kala melihat siapa pelaku penggebrakkan meja itu, Sita memutar bola matanya malas, lantas kembali merebahkan kepalanya.

"Eh jangan tidur." Ucap gadis yang berdiri di samping meja Sita.

"Gue ngantuk." Balas Sita santai tanpa berniat menatap wajah sahabatnya itu.

"Ayolah, Ta. Hari pertama sekolah masa digunain buat tidur dikelas, gak banget tau." Gadis itu berceloteh, menegakkan kepala Sita agar penatapnya.

Sita nurut saja, dengan tatapan malas dia menyahut. "Terus gue harus gimana? Umumin pake toa di tengah lapangan kalo gue itu murid baru gitu?"

"Ya gak gitu juga." Jawabnya lesu. "Mending kita ke kantin aja gimana?" Tawar sella.

"Tapi lo yang bayarin ya?"

Sella menghembuskan nafas panjang. "Okelah, sekalian sebagai sambutan dari sahabat tercanik dan terseksi lo." Ujarnya terlampau narsis tanpa melihat realita.

"Tepos gitu dibilang seksi."

Sella mendelik, tak terima dibilang tidak mempunyai lekukan tubuh. "Enak aja, mantan-mantan gue bilang gue bohay kok."

"Yaudah lah ya, mending langsung capcus aja."

"Siap."

[][][]

Hallo, gimana tanggapan kalian setelah baca part diatas?

Masih garing ya? Wajarin aja, autornya masih solo jadi gak ada yang semangatin hehe.

Oke maap keun typo yang berterbangan dimana-mana.

Salam sayang, cici.

Jumat, 13 Maret 2020

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang