TUJUH

201 33 3
                                    

Happy Reading!

Terlahir dari ibu yang mempunyai oktaf suara yang bisa memekakkan telinga jika sudah berkoar membuat Sita maupun kedua saudaranya tidak ingin membuat sang ibu tercintanya itu mengamuk.

Dan sekarang jika Sita tak mau menghantarkan makanan ke rumah sepupunya itu, sudah dipastikan kediaman Wirawan akan mengadakan konser dadakan.

Sita duduk lesehan diteras rumah menatap pria didepannya diiringi gelengan kepala.

"Emang masakan tante Ati selalu the best." Ujar Anton di sela-sela kunyahan makanannya. "Nanti suruh Mami bikin ginian ah." Serunya.

"Gue akuin masakan Ama emang enak, tapi gak mesti cara makannya gitu juga kali." Sita bergidik ngeri, melihat cara Anton melahap gulai yang ibunya beri itu seperti anak kolong jembatan yang baru menemukan makanan.

Anton tertawa garing. "Enak banget sih." Pujinya lagi.

"Lo nya emang kelaperan 'kan?"

"Itu tau, jadi diem."

Selama menunggu Anton menyelesaikan makanannya, Sita memilih merebahkan tubuhnya saja di lantai yang sudah diberi alas berupa karpet itu. Menikmati semilir angin yang menghembus menerpa wajahnya.

Jarak rumah Anton kerumahnya hanya terhalang tiga rumah saja. Rumah adik dari Wirawan itu dibangun dua lantai dan memiliki teras yang penuh dengan tanaman hijau berjejer diatas pot hitam kecil yang diletakkan di bawah pagar, membuat kesan asri dan nyaman.

Anton yang sudah menuntaskan acara makannya 'pun ikut merebahkan diri.

Sita yang melihat itu lantas menegur dengan menggeplak bahu yang sedikit berotot itu. "Pamali habis makan langsung tidur."

"Siapa yang bilang?" Tak perduli dengan teguran dari Sita, Anton memilih memejamkan matanya, ikut larut dalam kenyamanan lingkungan kediaman keluarganya.

"Pokoknya pamali aja, nanti kepala lo gede kayak upin-ipin."

Mendengar kalimat barusan lantas Anton membuka mata dan memiringkan badannya menghadap Sita, pria itu tertawa dengan keras. "Lah bener ya, upin-ipin kepalanya doang yang gede." Anton perlahan bangkit, duduk bersila. "Gue gak mau kayak dua tuyul itu, serem kalo kepala gue gede, hahaha."

Anton terus saja tertawa, memegangi perut kenyangnya yang sakit akibat menertawai lelucon yang Sita lontarkan.

Selera humor yang sangat rendah.

"Mending lo diem deh, terus cuciin rantangnya." Sita memberi arahan.

"Males, tante Ati aja yang cuci."

"Gak tau terima kasih." Cibir Sita.

"Ke tante Ati ini, dia mah selow kalo ke ponakan kesayangannya." Ucap Anton percaya diri.

Sita mendelik, mengespresikan orang muntah. "Najis."

Anton kembali tertawa tapi kali ini hanya sebentar, selanjutnya raut mukanya kembali normal. "Kata bang Bagas, nanti malem lo yang jaga rental?"

Sita hanya berdeham. "Biasanya rame gak sih?"

"Lumayan lah, apalagi nanti yang jaga bidadari." Ucapnya di akhiri dengan cengengesan kecil.

"Temenin gue ya, Ton. Males kalo sendiri." Sita duduk, memandang sepupunya itu dengan tatapan memelas.

"Lo gak minta juga gue bakal kesana, 'kan gue maen sama geng gue."

"Cowok semua?"

"Ya iya, kenapa mau ajak kenalan, huh?"

Plak

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang