ENAM PULUH LIMA

112 10 3
                                    

Khusus buat chapter ini aku kasi sudut pandang Juan biar kalian ngerti gimana perasaan dia:(

Muter mulmed biar lebih ngena.

Happy Reading!

Jika kalian ingin tahu siapa orang yang paling nggak berguna di dunia adalah gue, Juan Alexander.

Gue cuma bisa duduk tanpa ekspresi tepat di sebelah istri gue yang masih sulit gue percaya udah gak bernyawa lagi. Serius, gue sedatar itu. Gak ada raut sedih ataupun kehilangan.

Lantunan-lantunan surat yasin mendominasi, saudara maupun kerabat memenuhi rumah gue yang kompak memakai pakaian serba hitam tanda berkabung. Di pekarangan rumah pula, ada banyak karangan bunga berjejer yang mampu nampar gue banget kalo  memang ini bukan mimpi.

"Juan."

Bahu gue ditepuk yang otomatis buat gue noleh. Gue bisa lihat paman dari Mamah miris lihat kondisi gue sekarang lewat garis wajahnya.

"Ayo mulai solatin istri kamu. Gak baik mengulur-ulur waktu," katanya sambil senyum menenangkan.

Gue gak ada niatan buat jawab, langsung berdiri yang lagi-lagi tanpa raut wajah yang bisa menggambarkan suasanan hati gue.

Nggak lama acara menyolatkan Maria pun selesai, dilanjut dengan mengiring jenazahnya pake keranda yang gue ikut angkat.

Sumpah demi apa pun, gue gak kuat. Bukan karena berat keranda yang gue topang. Bukan. Gue gak kuat atau lebih tepatnya gak rela tubuh Maria gue gotong kayak gini.

Istri gue yang malang. Kenapa secepat ini lo tinggalin gue. Apa lo gak sayang lagi sama gue karena kesalahan yang udah gue perbuat dulu sampe buat lo nyerah kayak gini.

"Yang sabar sayang," ucap Mamah sambil usap-usap bahu gue yang saat ini lagi berdiri di depan liang lahat Maria. "Maria anak baik, dia pasti bahagia di atas sana."

Gue noleh saat Mamah ngomong gitu dan Mamah malah nangis, yang buat gue nelen lagi pertanyaan yang udah siap gue lontarkan.

"Bro, yang tabah," ucap Panji yang baru gue lihat perawakannya.

Andi, Anton sama Roni muncul setelah itu, ikut nimbrung buat kasih kata-kata yang mereka pikir bisa bikin gue gembira.

"Yang tabah, Maria pasti bahagia di atas sana," kata Anton yang pake kaca mata item persis kayak orang buta.

Bahu gue dirangkul Roni, si bangke ini juga pake kaca mata item sama kayak punyanya Anton. "Gak boleh nangis, kalo sampe nangis gue kawinin sama kocheng oren gue," katanya yang berniat bergurau.

"Lo yang tabah, doain istri lo terus bahagia dan buat dia bangga sama lo dari atas sana," itu suara Andi.

Lagi-lagi gue mikir, kenapa semua orang bilang kalo Maria bisa liat gue dari atas. Kalo emang Maria ada di atas, apa gue bisa ikut dia?

Gue sanggup buat sewa pesawat bahkan roket biar bisa ketemu dan jemput Maria dari atas seperti yang mereka bilang atau harus mendaki gunung biar sampe di atas awan, bakal gue lakuin demi bisa ketemu Maria, istri gue.

Nggak lama kemudian, kedatangan Sita yang terus nempel sama Alif mampu buat gue merubah ekspesi jadi tajam. Tangan gue dikepalkan, mungkin kalo ada telur udah pecah karena saking kencangnya. Mata gue terus menyorot lurus dimana Sita berada. Tubuh cewek itu bergeser untuk berlindung di tubuh Alif yang juga ikut natap gue, bahkan Sita sampe mundurin langkahnya. Mungkin takut karena gue natapnya begitu.

"Nak Juan, mari turun," panggilan dari seorang pria setengah abad memutuskan sorot permusuhan gue untuk Sita.

Gue menggangguk, dengan sekali lonpatan tubuh gue udah masuk ke dalam liang lahat tempat peristirahatan terakhir istri gue.

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang