ENAM PULUH DELAPAN

121 10 30
                                    

Happy Reading!

Sita menutup mata rapat-rapat, tubuhnya yang sudah bergetar dibuat semakin bergetar. Apalagi saat tangan Juan mulai meraih leher jenjangnya, mencekramnya kuat.

Nafas Sita tersendat, kakinya sampai sedikit berjinjit karena cekikkan yang Juan hasilkan sangatlah kencang.

Sita sudah pasrah, dalam fikirannya hanya ada kematian saja. Setidaknya ia sudah merasa lega karena mimpi memang bisa menjadi kenyataan.

Namun itu tidak bertahan lama, entah oleh sebab apa tangan Juan mengendur, menariknya hingga terlepas dari leher jenjang Sita.

"Akh! Kenapa gue gak bisa bunuh lo! Kenapa, hah?!" rutuk Juan.

Sontak saat cekikannya terlepas, Sita menjadi terbatuk-batuk, sesegera mungkin meraih leher jenjangnya yang terasa sakit.

Bisa dilihat Juan yang masik merutuki dirinya, bahu pemuda itu menatap di sudut dinding samping meja nakas panjang. Ternyata Juan menangis, terlihat dari bahunya yang bergetar serta suaranya yang berubah menjadi serak.

"Padahal-- padahal lo yang bunuh istri gue," lanjutnya.

Tubuh Juan merosot ke bawah, duduk menekuk lutut yang sekarang tangannya naik menjambaki rambutnya sendiri.

"Hidup gue sekarang gak berguna. Yang jadi semangat gue udah lo ambil, gue sendirian sekarang," tutur Juan menatap Sita dengan mata berembunnya.

Kepala Sita sedari tadi terus bergeleng, mencoba meyakinkan Juan bahwa bukan dirinya yang menjadi penyebab ketiadakan Maria.

"Gue gak ambil Maria dari lo, bukan gue yang bunuh Maria," elak Sita yakin.

Juan berdecih, dua tangannya diletakkan masing-masing diatas lutut. "Mana ada kan maling ngaku?"

"Tapi emang bukan gue yang buat istri lo mati, gue gak bunuh dia!" Sita menaikkan oktaf suaranya.

Hal tersebut mampu menarik lagi Juan untuk berdiri. "Kenapa gue harus percaya omongan bullshit lo?"

"Ya karna emang itu faktanya. Maria mati bukan karna gue, itu jalannya dia," tangis Sita makin kejar.

Juan menggeram keras bak hewan buas yang kelaparan. Dengan sekali hentakkan, Juan mencekal lengan Sita kuat. Matanya menatap lurus Sita di hadapan, tajam dan awas.

Sita sampai meneguk salivanya susah payah, namun jika ia terus diam begini, sampai kapan pun Juan akan terus menyalahkannya.

"Lo harus percaya kalo gue bukan penyebab kematian Maria, percaya sama gue," Sita mencoba meyakinkan Juan.

"Ash!" ringis Sita saat Juan semakin menguatkan cekalannya. "Lo tau, Juan, lo semakin terlihat gak berguna karna tingkah lo yang kayak banci ini," ujarnya sarkas.

Juan dibuat mendelik, wajahnya memerah karena emosi dalam dada semakin membara.

"Ulangi," titah pemuda itu.

"Lo kayak banci," ulang Sita.

Emosi Juan kini meluap, tangan yang mecekal pergelangan tangan Sita dilepas dan berganti meraih sebuah vas kecil untuk ia banting sebagai penyalur kekesalan diri.

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang