Happy Reading!
Ada yang bilang jika hidup tanpa adanya cobaan itu sama halnya seperti masakan tanpa garam. Hambar. Tidak ada rasa.
Maka dari itu, disetiap cobaan yang tuhan berikan, jangan cuma mengeluh saja, tetapi cobalah sesekali harus disyukuri. Bukan berarti mensyukuri cobaannya, tetapi bersyukur karena tuhan masih percaya bahwa hambanya mampu untuk melewati cobaan yang ia beri. Karna pada dasarnya tuhan memberi cobaan sesuai kemampuan hambanya.
Namun haruskan Juan seperti itu. Sepertinya tidak. Juan masih mengeluh takdirnya tak adil, ia masih merasa bahwa tuhan tidak pernah mau berbaik hati padanya.
Pemuda itu nampaknya sudah membersihkan diri, terlihat dari pakaian serba hitam yang sekarang berganti dengan stelan khas para narapidana.
Juan duduk di lantai dingin itu, kakinya ditekuk dengan kedua tangan diletakkan di atas lutut. Bersandar pada dinding yang penuh coretan angka romawi, yang digunakan sebagai kalender bagi mereka yang bernasib sama sepertinya.
Suara decitan pintu jeruji besi berhasil menarik atensi Juan untuk mendongakkan kepalanya yang sedari tadi hanya digunakan untuk menunduk saja.
"Saudara Juan Alexander?" tanya polisi setengah abad itu.
Juan yang namanya dipanggil, tak bertenaga dan tanpa semangat sedikit pun bangkit untuk menghampiri polisi pria itu.
"Kamu Juan?" tanyanya lagi. Juan berdeham mengiyakan. "Ada yang ingin bertemu. Ayo," ajaknya mempersilahkan Juan untuk keluar dari sel.
Pintu kembali ditutup dan tanpa lupa untuk di gembok kembali. Setiap langkah Juan diiringi polisi dibelakang tubuhnya, bertugas memberi arahan juga mengawasi jika hal yang tak diinginkan terjadi.
Sejujurnya Juan tak memiliki keinginan untuk di besuk, karena Juan cukup intropeksi diri untuk tidak mengharapkan kedatangan seorang pun, terlebih orang tuanya, sangatlah mustahil.
Langkah mereka berhenti di ruang besuk, yang langsung disambut oleh beberapa pasang meja dan kursi yang tak banyak diisi oleh manusia-manusia yang saling melepas rindu.
Pandangan Juan menjelajah ke segala sudut, mencari keberadaan sosok yang ingin bertemunya. Sampai sebuah lambaian tangan mengunci pandangannya. Disana, disudut ruangan terdapat pria kisaran empat puluh tahun mengenakan pakaian formal menabur senyum.
"Hanya lima belas menit," pesan polisi itu sebelum undur diri.
Juan mengangguk mengerti, menghembuskan nafas panjang terlebih dahulu sebelum melangkah menghampiri sosok tegap itu.
"Selamat malam tuan muda," sapa pria itu tersenyum hangat dengan penuh kesopanan.
"Om," Juan mengambil duduk dihadapan pria berjas itu.
"Lama tidak bertemu. Tuan muda apa kabar?" tanya pria itu lagi.
"Kita nggak lagi di kantor, om, cukup panggil nama seperti biasanya aja," tegur Juan.
Pria itu terkekeh. "Baiklah."
Reno, adik dari Ayah Juan sekaligus menjadi pengacara keluarganya.
Memang hubungan mereka tidaklah dekat, namun setelah Juan mendapatkan jabatan sebagai Manager di perusahaan keluarganya, mereka menjadi sering bertemu.
"Jadi, gimana kabar kamu?" tanya Reno lagi.
Juan mengangkat bahunya. "Seperti yang om liat."
Reno mengangguk masih dengan lengkungan senyum yang tak pernah pudar.
"Ada keperluan apa om dateng kesini?" tanya Juan to the point.
"Om hanya menyampaikan pesan papahmu saja," tutur Reno. Juan melipat tangan di atas meja, siap mendengarkan walau sebenarnya tak berminat sama sekali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Singgah [TAMAT]
Novela Juvenil[Part lengkap dan belum revisi] Sita Larasati, gadis cantik yang mencintai apa adanya pemuda bernama Juan. Pria berkekurangan itu sanggup merubah prinsip hidup Sita yang monoton. Kisah sederhana dari pertemuan tak terduga menjadi kisah cinta pertama...