EMPAT PULUH

98 7 0
                                    

Happy Reading!

Kedua tangan mengepal hebat, kuku buku sampai memutih, si empunya menangis tersedu-sedu dibalik bantal. Sesekali meninju kasur yang tidak tahu-menahu.

Entah bagaimana bentuk wajahnya nanti, Sita hanya ingin menyeluarkan rasa tak terima di hatinya. Seolah ia sedang di permainkan oleh dunia. Apa yang ia tanam mengapa tak menuai, pikirnya begitu.

Bukankah Sita sudah menerima apa adanya diri seorang Juan, tapi mengapa harus rasa sakit yang ia terima?

Sita baru ingat bahwa kisah cinta pertama tidak ada yang berjalan mulus. Antara ditinggalkan atau meninggalkan.

Gadis yang wajahnya sudah banjir air mata itu membalikkan tubuh. Sekeras mungkin menahan agar pelupuknya tak mengeluarkan bulir air mata.

Namun hati tak bisa dibohongi, rasa sakit itu semakin menancap sampai ulu hati. Air matanya kembali menetes, mengalir terus-menerus tidak perduli si empu sudah mati-matian menggigit bibir bawah agar tak kembalo keluar.

Rupanya hal serupa tak membawakan hasil, air mata terus keluar dengan derasnya pun dengan suara ringisan diiringi sesegukan mengisi kosongnya kamar.

"Berengsek... hiks... lo jahat... gak punya hati... hiks... gue benci lo an... jing... huhuhu... "

Lalu ingatannya jatuh pada saat Maria memberikan sebuah amplop.

Sita beringsut duduk, menggeser tubuhnya hingga tepat disamping nakas. Dengan hati yang masih mengilu, ia membuka laci nakas kemudian mengobrak abrik isinya sampai pergerakan tangannya terhenti yang berarti apa yang dicari sudah ia dapatkan.

Perlahan Sita menariknya keluar, menatap lama dengan mata sembabnya. Mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya amplop berhasil terbuka. Tangan memerah gadis itu digunakan untuk menghapus air matanya kasar, lalu merogoh isi amplop coklat tersebut.

Membuang nafas kembali, Sita dengan gesit membalik satu lembar foto ditangannya.

Mata yang sembab kembali menerjurkan air mata. Sita tertunduk dalam, mengapa tak dari lama ia membukanya.

"Isinya bencana. Kalo kamu udah siap hadapinnya kamu boleh buka kok, tapi untuk sekarang jangan dulu."

Kalimat Maria saat itu kembali terngiang. Jika dulu ia hanya menganggap sebagai guyonan semata, namun saat ini ia sangat faham apa maksudnya.

Di cetakan foto tersebut terdapat potret seorang Maria yang anggun juga Juan yang gagah berdiri di atas pelaminan.

"Padahal waktu itu lo udah kasih teguran ke gue," gumam Sita menatap dalam figura tersebut.

Semakin ditatap lama, Sita semakin ingin menertawai dirinya. Terlalu bodoh atau bahkah sangat bodoh.

Sebutan orang ketiga apakah berlaku disematkan untuknya?

Sepertinya tidak. Disini dirinyalah yang menjadi korban utama.

Ia baru menyadari sikap Anton yang selalu menyuruhkan untuk memutuskan hubungan dengan Juan. Anton tidak ingin dirinya mengalami momen seperti ini.

Benar, Sita harus menemui sodaranya itu.

[][][]

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang