DUA PULUH

120 15 0
                                    

Di votes yaps!

Happy Reading!

Semilir angin menari-nari yang mengakibatkan daun-daun berjatuhan memenuhi taman kota sore itu. Sepasang anak adam berada dalam posisi kecanggungan di sebuah kursi besi bercat putih. Meski di sekitarnya tampak sangat amat menyejukkan mata siapa saja yang memandang, namun atmosfer di sekitar mereka tidak mendukung untuk itu.

Gadis yang menjepit sebagian rambut panjangnya itu berdecak, merutuki mengapa ia mau-mau saja di ajak bertemu jika kebersamaannya hanya di isi oleh suara tawa bocah-bocah yang berlarian kesana kemari di sekeliling.

Tidak mampu menunggu lebih lama lagi, gadis yang tak lain adalah Sita itu menghadapkan badannya pada pria di sebelahnya. Saat wajahnya tepat menghadap Juan, di saat itu pula tatapan keduanya saling menubruk.

Keduanya masih diam, masih enggan melakukan gerak tambahan. Sita yang di tatap seperti itu mengakui hatinya bertalu-talu dengan cepat. Sejujurnya, di lihat dari dekat, ketampanan Juan bertambah berkali-kali lipat.

Sepasang alis tebal, hidung mancung yang menjadi perosotan keringat kala bermain futsal, dan di sempurnai dengan bibir kasual yang menambah populasi cogan di bumi.

Tidak kuat berlama-lama dalam posisi saling bertatap, lantas Sita membuang pandang terlebih dulu sebelum pipinya mengeluarkan semburat merah lebih banyak lagi.

Baru saja Sita bernafas lega, tanpa aba-aba Juan dengan satu tarikan tangannya memeluk Sita yang sontak melebarkan mata. Dengan ragu dan entah dorongan dari mana Sita membalas pelukan, melingkarkan tangannya di pinggang Juan. Dapat Sita rasakan kepala Juan yang berada di bahunya mengangguk-angguk, yang Sita artikan sebagai bentuk permohonan maaf pria yang masih betah memeluknya ini.

Karena tidak kuat harus menahan jantungnya yang berdebar terus-menerus, Sita mengalah saja, menguraikan pelukan setelah balas mengangguk.

"Gak masalah kok, Wan. Gak apa-apa." Kata Sita dengan suara pelan.

Hari itu, jantung Sita seperti sedang di uji, seperti di permainkan oleh Juan yang saat itu kembali membuat Sita menjadi kikuk.

Sita mengutuk dirinya sendiri, mungkin karena ia tidak pernah menjalin hubungan dengan lawan jenis sebelumnya, sampai jantungnya selemah ini padahal pria ber-hoodie di depanya hanya menggenggam tangan saja.

Entah tangan Sita yang dingin atau tangan Juan yang memang hangat, Sita merasa nyaman dengan tautan tangan ini. Setelah lama menunduk, Sita memberanikan diri untuk mendongak, balas menatap Juan yang pandangannya tidak berpaling barang sedikit pun darinya.

"A..aku.. a.. a.. ck" Sita membuang nafasnya kasar.

Sial. Kenapa jadi gagu sih.

Mengambil nafas, lantas Sita membuka mulutnya kembali untuk melanjutkan ucapannya.

Tapi, sebelum bersuara, Ia berdeham terlebih dulu. "Aku beneran maafin kamu kok."

Juan masih tak memberikan respon walau hanya dengan mengulum senyum, membuat Sita merasa bersalah saja. Tunggu, kok dia yang tak enak hati. Keliru. Harusnya Juan kan yang merasa bersalah karena telah meninggalkannya di kencan pertama?

"Juan." Sita menggoyangkan lengan pria tanpa ekspresi itu, takut-takut kalau dia di rasuki hantu taman, "Kamu kenapa?"

"Hei, jangan diem ish." Sita semakin gencar menggoyangkan lengan Juan.

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang