TIGA PULUH DELAPAN

104 9 0
                                    

Happy Reading!

Di ruangan serba putih atau lebih tepatnya di atas brankar terdapat gadis yang terduduk dengan kaki diselonjorkan.

Menggunakan overall di atas lutut, Sita tengah di tangani oleh salah satu perawat wanita di unit kesehatan.

Entah bagaimana luka itu muncul, padahal cewek itu yakini bahwa mobil tadi tak menghantam tubuhnya sedikit pun, namun kedua lututnya mengalami luka goresan yang cukup membuat si empunya meringis menahan nyeri.

Iris mata gadis itu tak pernah lepas dari wajah Juan yang berdiri tepat di samping bibir brankar. Walau sesekali bibirnya mengeluarkan ringisan, ia enggan memalingkan pandangan barang sejenak pun.

"Selesai!" Seru sang perawat seraya membereskan kapas serta omat merah bekas luka di kedua lutut Sita.

Tak lama kemudian sang perawat undur diri. Sita di tempatnya yang masih tetap menatap pria di depannya, dengan Juan yang sesekali meneguk ludah kasar.

"Juan," panggil Sita dengan wajah datar.

Juan terkesiap, cowok itu perlahan mendekat hingga berhenti mengayunkan kakinya tepat di samping Sita.

"Juan," panggilnya lagi.

Memberanikan diri, Juan mendekatkan diri kembali pada tubuh Sita. Menaikkan dua alisnya, Juan beranggapan bahwa Sita tak menyadari bahwa dirinya yang mengeluarkan suara.

Bibir Sita berkedut namun cepat berubah jadi senyuman lebar. Tangan cewek itu perlahan terulur meraih tangan Juan.

Kepalanya menggeleng sekilas. "Udah bisa bicara kok cuma diem aja?"

Juan tertegun mendengarnya, memejamkan mata, pria itu menghela nafas berat. Balas menatap Sita intens, Juan menarik tangannya lalu berganti ia yang menggenggam tangan cewek itu.

"Yuk pulang," ajaknya menarik Sita tanpa peduli cara jalan gadis di belakangnya.

Tertatih-tatih Sita mengikuti pijakan Juan. Lututnya masih ngilu walau hanya luka kecil saja yang di dapat jika harus digunakan untuk berjalan secepat ini, nyerinya bertambah dua kali lipat.

Di dalam benak pemuda itu tersirat rasa bersalah juga kelegaan karena mulai detik ini ia tidak harus berbohong lagi.

Langkah keduanya berhenti kala sudah sampai di parkiran. Juan melepaskan cekalan tangannya lalu berganti meraih helm untuk ia pasang pada kepala. Menaiki kuda besi miliknya, Juan menoleh pada Sita yang tak melakukan pergerakan.

"Naik," titah Juan melirik jok belakang.

Namun Sita tetap diam, dia hanya fokus pada pergerakan bibir Juan kala berbicara.

"Ayo naik, Ta," perintah Juan lagi.

Sita tersadar bahwa apa yang sedari tadi berkecamuk di fikirannya memang nyata, bahwa Juan benar-benar bisa berbicara.

Merasa terabaikan Juan pun kembali turun, melangkah mendekati Sita lalu meraih tangannya.

Sadar dengan yang Juan lakukan, Sita dengan tak santainya menyentak lengan pemuda itu sampai cekalan tangannya terlepas.

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang