TUJUH BELAS

120 16 0
                                    

Edisi author kangen pasar malam.

Happy Reading!

Di dalam boncengan motor itu, ada perempuan mengulum senyum yang tak pernah luntur sejak tadi.

Deru motor yang orang lain bilang bisa memekakkan telinga, Sita anggap sebagai candunya.

Tidak bisa di pungkiri. Sita sedang berbahagia saat ini. Kali pertama ada lelaki selain Ayah dan Kakaknya yang mau repot-repot menjemput sekolah.

Cahaya yang mulai temaram menjadi atap kedua anak manusia di atas motor itu. Lampu-lampu jalanan menyala dengan cahaya minim. Jalanan mulai penuh, karena sudah saatnya para pekerja mengistirahatkan tubuh letihnya.

Yang Sita tahu jalan yang di pilih Juan bukan jalan menuju tempat tinggalnya berada. Gadis itu meyakinkan kemungkinan dengan memutar badan untuk melihat apakah adiknya berada di jalan yang sama.

Tapi... tidak ada.

Mata Sita masih jernih jika untuk mengenali wajah orang, dan wajah-wajah di sekeliling motor Juan yang masih melaju tidak di temukan sosok Andini dan Panji.

Tidak mau berlama lagi memikirkan apakah Juan salah mengambil jalan hingga terpisah dengan Andini, Sita pun menepuk bahu Juan sekali.

"Kamu hafal jalan 'kan?" Tanyanya dengan badan lebih condong ke depan dan oktaf suara yang di naikkan.

Juan mengangguk memberi jawaban, tapi Sita belum puas, lantas gadis itu berteriak lagi.

"Jalannya asing. Ini bukan jalur rumah aku."

Lalu Juan mengangguk lagi, Sita menurunkan garis wajahnya.

Apa pria tak punya suara ini akan menculikanya?

Ah tidak, pemikiran Sita mengapa jadi dangkal begini. Pasti ini karena Andini yang suka menonton kdrama di hadapannya, hingga efeknya merambat pada Sita.

Tidak lama kemudian, laju motor tidak sekencang tadi, lebih pelan. Sita mengedarkan pandangan, dia terperangah. Iris mata dan mulut secara bersamaan membola melihat penampakan di depannya.

Sita dengan senyum semakin lebar turun dari motor, membenarkan letak rok yang sedikit meninggi sampai merasa nyaman.

"Pasar malam." Kata Sita berbinar.

Juan ikut turun dari motornya kala sudah mendapatkan tempat parkir, ia mendekat pada Sita yang mematung memperhatikan sekeliling yang di isi dengan deretan pedangang-pedangan pakaian sampai kulineran.

Cekalan di tangan menyadarkan Sita dari keterpanaannya pada tempat yang lama tidak ia kunjungi. Lalu tatapannya turun ke arah tangan yang di tarik Juan.

Juan menggenggamnya.

Sita di belakang tubuh Juan pun semakin tersenyum lebar, mungkin sebentar lagi pipinya akan robek karena senyum tidak pernah berkurang sedikit pun.

Dengan langkah lebar nan cepat agar bisa sejajar dengan Juan, Sita berjalan bersisian, hingga membuatnya bisa melihat bahwa tidak biasanya Juan memakai penutup wajah.

"Kenapa pakai masker?"

Juan menoleh. Tangan satunya yang bebas ia naikkan sampai di depan mulut, di kepalkan. Lalu gerakkan berikutnya kepalanya mengangguk-angguk.

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang