TUJUH PULUH TIGA

155 10 15
                                    

Happy Reading!

Kebanyakan orang menilai sesuatu hanya dari luarnya saja. Penampilan dijadikan faktor utama untuk menilai baik buruknya seseorang.

Pun dengan Sita, ia fikir Juan adalah manusia dengan segala kesempurnaan. Paras, bakat, harta, bahkan keluarga, tak dipungkiri Sita pernah berfikir bahwa Juan pemilik semua itu dengan sempurnanya.

Tapi ternyata apa yang orang kebanyakan bilang jika tidak ada kesempurnaan di dunia ini itu benar. Ralat, bukan tidak ada, tetapi penempatannya saja yang kurang tepat.

Sesuatu akan menjadi sempurna jika kita mensyukurinya. Jika Juan pemilik rupa tampan dan suaranya yang merdu juga harta yang berlimpah, seharusnya itu menjadi cukup untuk dia mensyukuri hidup. Anggap sedikitnya waktu yang ia dapat dari kedua orang tuanya adalah salah satu kekurangan yang ia punya. Karena hidup harus seimbang, ada lebih juga ada pula kurangnya.

Sita menghela nafas. Saat ini, gadis itu tengah berada di sebuah halte. Entah karena alasan apa, Sita ingin menjadikan metromini untuk transportasi penghantar ia pulang.

Sembari menunggu metromini datang, Sita yang sudah terserang kebosanan memutuskan untuk memainkan kakinya saja, menggerakkannya ke kenan ke kiri lalu mengayun-ayunkannya bak anak kecil dan dilakulan secara terus-menerus.

Tak lama kemudian, transformasi umum yang Sita dan segelintir orang tunggu pun datang. Sita membuang nafasnya seraya menghentikkan tarian kakinya yang mengggantung lalu bangkit berdiri. Sita rupanya tidak langsung masuk karena harus mengalah untuk mempersilahkan mereka yang tak sabaran untuk naik.

Sebenarnya Sita baru pertama kali menaiki metromini selain saat tour sekolah itupun menggunakan bus, ia lebih suka menggunakan taksi atau ojek. Namun mungkin karena terbawa suasana hati, Sita memutuskan tak menaiki dua angkutan yang biasa ia gunakan itu.

Sita duduk di kursi dekat dengan jendela, tempat paling apik untuk menikmati kesegaran angin malam yang segar walau sudah bercampur dengan polusi hasil dari kendaraan.

Kaca jendela tak sepenuhnya tertutup, menjadikan hembusan angin malam menyapu wajah Sita yang tenang.

Getaran pada tas selempangnya menarik Sita untuk menunduk lalu merogoh isinya, mengeluarkan benda pipih tersebut yang menyala karena mendapatkan panggilan telepon.

Alif calling...

Decakan keluar dari bibir Sita. Jika dihitung mungkin jari lima puluh orang pun tidak mampu menyamai total panggilan suara dari pemilik nama Alif Abraham ini. Dan untuk kesekian kalinya Sita menolak untuk menjawab.

Tetapi rupanya Alif tak menyerah, pria di sebrang sana itu melakukan panggilan suara lagi, dan kembali Sita menolaknya.

Entahlah, Sita pun tidak faham mengapa ia begini. Perihal Alif yang bertindak jauh untuk melaporkan Juan ke pihak berwajib itu sudah tak menjadi masalah lagi bagi Sita, justru Sita bersyukur karena dengan Juan yang ditahan, dia bisa intropeksi diri dan merenungkan kesalahannya.

Tiba-tiba ingatan Sita jatuh saat bersama Reno kala di kantin kantor polisi lalu.



Flashback on...

"Tolong kamu jaga Juan, ya?"

Sita sontak saja melebarkan mulut, terkejut akan permintaan dari pria berjas di depannya.

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang