ENAM PULUH ENAM

110 10 18
                                    

Happy Reding!

Langit malam dipenuhi hamparan gemintang yang berkilauan, di balkon terdapat Sita yang berdiri dengan tangan menumpu pada pinggiran sana. Angin yang bergerak damai menari, membelai lembut kulit tubuh Sita yang tak tertutup kain.

Sita memejamkan kedua matanya. Gadis berpiyama itu merentangkan tangan selebar-lebarnya, berharap bisa memeluk sejuknya hembusan angin.

Namun, entah mengapa satu persatu bintang di atas sana menghilang, seolah tertelan oleh gelap gulita atap semesta.

"Loh, ini kenapa? Kok bintangnya...jadi hilang," Sita terheran-heran.

Sungguh sangat ajaib, semua ratusan bahkan ribuan bintang sudah raib yang sekarang berganti dengan kilatan cahaya yang bermunculan.

Sita yang masih tidak bisa percaya dengan apa yang dia lihat mengucek-ucek matanya, berharap itu hanya ilusinya saja. Namun ternyata tidak berpengaruh, langit justru semakin mengerikan. Seketika gemuruh tiba, saling sahut-menyahut dengan dashatnya.

Langkah gadis itu termundur perlahan, Sita merasa takut. Ia memutuskan untuk masuk saja, dan bertepatan dengan itu suara bel terdengar memenuhi unit apartementnya. Sita buru-buru menghampiri pintu, berniat membukanya karena ia sungguh ketakutan jika harus sendirian dalam suasana yang mencekam seperti ini.

Tidak berlama-lama, Sita segera membuka pintu, sangat berharap yang datang adalah Alif.

"Lif, bintangnya tiba-tiba hil...ang," ucapan Sita terhenti, bola mata gadis itu melebar sampai akan keluar.

Melihat bukan seseorang yang diharapkan kehadirannya muncul, Sita dengan sigap hendak menutup kembali pintu sebelum mempersilahkan tamunya untuk masuk. Namun ternyata tangan pemuda itu lebih dulu menahan daun pintu, balas mendorong seperti yang tuan rumah lakukan.

Sita dibuat kelimpungan karena sadar tenaganya tak sebanding dengan pemuda itu, hingga membuat tubuhnya terdorong kebelakang.

Mendapatkan celah, pemuda itu masuk tanpa permisi. Di tangannya terdapat sebuh senjata berupa pistol yang terus menjadi fokus Sita.

"Lo-- lo mau ngapain ke sini?" tanya Sita gagu.

Tubuhnya bergetar, keringat dingin mulai bermunculan di sekitar kening.

"Juan, lo mau apa?" nada suara Sita bergetar sarat akan ketakutan.

Juan mengambil langkah sekali yang otomatis membuat Sita memundurkan langkah.

"Kenapa ada di sini? Lo masih berkabung, seharusnya lo kirim doa buat Maria," Sita masih mengambil langkah mundur, sesekali kepalanya memutar ke belakang, memastikan jalannya tak gontai.

Juan menarik senyum miring, pemuda berpakaian serba hitam itu masih melangkah maju. "Bullshit. Lo yang bikin gue jadi berkabung."

Suara Juan terdengar serak yang semakin menambah kesan menyetamkan.

"Gue liat, hidup lo damai-damai aja setelah bunuh dua nyawa yang paling berharga buat gue," katanya yang sekarang berwajah sendu.

Sita menelan saliva kasar, sungguh apa yang Juan tunjukkan untuknya tidaklah benar. Dua hari ini dia tak bisa tidur dengan nyenyak. Sita selalu menyalahkan diri dengan apa yang telah terjadi.

"Nggak, gue gak gitu," sangkal Sita.

"Gue yang salah tapi kenapa lo malah bales pada orang yang gak tau apa-apa," Juan mulai meringis, bibirnya mengeluarkan isakkan kecil.

Sita semakin awas, dia dibuat terkesiap ketika punggungnya menatap sofa.

"Gue gak pernah gitu," Sita menguatkan keberaniannya untuk terus menyangkal.

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang