EMPAT BELAS

136 17 2
                                    

Happy Reading!


"Sejaman gue ngejogrog di sini, sendirian, mirip anak ilang."

Sita baru muncul, dan Anton malah menyambutnya dengan omelan dari bibir tipisnya. Di liat dari cara bicaranya udah mirip Ama aja, maap nih, Ton.

Sita hanya membalas dengan cengiran saja, menampilkan deretan gigi putih bersihnya.

"Lo habis kemana sih, Ta, tiap hari pulang maghrib. Kalo gini, bisa di curigain tante Ati ini mah." Dia berbicara tanpa jeda lagi, sudah di bilang 'kan, Anton jika sudah seperti ini, mulutnya persis mirip terompet tahun baru yang di jual di pasar malam.

"Jangan mau tahu." Selalu seperti itu, jika di tanya dari mana pasti di jawab 'jangan mau tahu, gak boleh kepo, kepo nanti masuk neraka, dan lain lain.

"Lo nggak kerja di tempaaat... gituan kan?" Tak puas jika pertanyaannya belum di jawab dengan lugas, Anton kali ini melontarkan tanya sesuai kemungkinan yang ada di otaknya.

Brugh

Bersama dengan terhentinya ocehan Anton, Sita menggunakan ranselnya memukul kepala sepupunya itu. "Maksud lo tempat gituan apa? Lo kira gue lonte gitu, huh, sembarangan."

"Lagian selalu minta jemput disini, jadi wajar dong kalo gue curiga."

Disini, maksudnya di depan gang-gang kecil yang menjadi jalur untuk Sita tempuh menuju tempat belajar berbahasa isyarat. Memang tempat yang di bangun oleh Bunda Sahara itu terletak di pemukiman padat penduduk. Jika ingin kesana pun, harus berjalan kaki, sebenarnya bisa saja menggunakan kendaraan, asal yang beroda dua, seperti sepeda dan motor.

Jalan setapak yang menjadi penyebabnya. Rumah-rumah warga saling berdekatan, sampai jarak rumah satu ke rumah lainnya hanya di beri spasi sangat sempit.

Usai berdebat, kedua remaja itu memutuskan untuk meninggalkan tempat yang sudah tujuh hari menjadi tempat penjemputan Sita.

Sialnya mengapa harus Anton yang Sita tunjuk sebagai tukang ojek. Bukankah kakak serta adiknya ada.

Sudah satu pekan Sita tak langsung kembali ke rumah jika waktu pulang sekolah berakhir, dia dengan 1001 alasan selalu lolos dari Andini serta Sella yang akan mengajaknya pulang bersama.

Semilir angin malam masuk ke pori-pori kulit Sita, menyerap ke dalam baju yang selalu Sita bawa untuk berganti jika akan datang ke Pusbisindo. Tak enak 'kan jika kesana masih menggunakan seragam sekolah.

Motor yang Anton gunakan kali ini adalah vespa, beda dari hari-hari sebelumnya, moge. Anton itu anak satu-satunya, alias anak tunggal, alias lagi semata wayang. Tak heran jika cowok ini tiap hari bisa bergonta-ganti motor.

Saat ini Anton baru masuk ke dalam dunia perkuliahan. Karena tak ada pilihan lain, Anton dengan lapang dada masuk ke fakultas ekonomi bisnis. Cowok yang bercita-cita menjadi seorang arsitek itu harus rela memendam impiannya itu dalam, dia di lahirkan tak memiliki kakak serta adik membuatnya mau tak mau meneruskan perusahaan yang ayahnya miliki.

"Sampeee."

Sita turun, mengembalikan helm yang ia pakai untuk melindungi kepalanya.

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang