DUA PULUH TIGA

94 13 0
                                    

Di votes dulu guys.

Happy Reading!

"Jadi gue suruh lo putusin dia karena Juan itu--"

Kemudian terjadi hening karena Anton yang tiba-tiba menghentikkan ucapannya.

"Karena Juan itu--"

Dan Sita masih sabar menunggu.

Hingga...





Tutt.. Tutt.. Tutt..

"BERENGSEK!." Umpat Sita keras. Ia membanting ponsel ke pangkuan dengan kasar.

Karena posisinya yang berada di tengah antara anak kelas lainnya, membuatnya menjadi pusat perhatian karena suara yang gadis itu keluarkan tiba-tiba meninggi.

"Astaga gue kaget." Kata Nina latah memegangi dadanya.

"Kenapa sih, Ta?" Tanya Seni penasaran.

"Nggak, hehehe." Perempuan itu cengengesan, melirik kanan-kiri anggota kelas yang memandangnya aneh dengan memamerkan gigi rapinya.

Karena sudah terlalu malu karena untuk pertama kalinya ia mengeluarkan suara bombastis di depan teman sekolahnya, Sita dengan perlahan memundurkan posisi duduknya agar ketiadaannya di kerumumunan itu tidak terlalu mencolok, persis seperti suster ngesot namun dengan versi bergerak mundur.

Namun percobaan kabur Sita gagal karena yang namanya Nina si peka dalam segala macam keadaan, membuatnya tertangkap basah.

"Mau kemana lo?" Tanyanya menahan pergelangan kaki Sita.

"Gue lupa kalo jam segini jadwal adek gue mentas." Jelas Sita masih dengan posisinya selonjoran.

Nina berdecih. "Bukan mau kabur karena malu, hah?"

"Nggak kok."

Plak..

Dengan tidak berperikemanusiaannya Seni menggeplak bahu Nina keras, membuat si pemilik bahu meringis.

"Ih kasar." Komentar Nina mengusap bahunya.

"Lo kalo nggak mampu jauh-jauh dari Sita mending ngikut aja." Katanya bengis.

"Cepet cabut lo, Ta." Usir Nina akhirnya melepaskan cekalan tangan di kaki Sita, "pergi jauh lo," lanjutnya mencebik.

Karena sudah di beri izin, Sita dengan cepat bangkit berdiri, melangkah meninggalkan kerumunan menuju ruangan tempat pementasan menyanyi solo di lakukan.

Sita mengutuk orang yang mendesain tata letak ruangan di sekolahnys itu, mengapa letak aula jauh dari lapangan utama.

Beruntung kakinya tidak patah karena harus berjalan bermeter-meter hanya untuk melihat bagaimana adik tercintanya itu pentas.

Memang dasarnya Andini, padahal Sita sudah tahu suara Andini itu seperti apa, lagu yang ia akan bawakan untuk lomba itu apa, jadi tidak wajib juga Sita untuk melihatnya.

Tapi, jika ia tidak menyaksikan penampilan Andini, entah bagaimana nasibnya nanti saat di rumah.

"Astaga, ini sekolah atau istana sih. Luas banget." Gadis yang menghentikan langkahnya itu nampak ngos-ngosan, menyeka peluh di keningnya dengan punggung tangan.

Satu tikungan lagi tempat yang ia tuju sampai, Sita dengan langkah lesu melanjutkan perjalanan.

Namun, lagi-lagi langkah gadis itu terhenti kembali saat tak sengaja ia melihat Alif memasuki toilet.

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang