ENAM PULUH DUA

96 14 7
                                    

Happy Reading!

Setibanya Sita dan Alif di rumah sakit, mereka disambut senyum oleh ibu dari Maria.

"Nak Sita, ya?" tanya wanita paruh baya itu.

Sita menoleh sekilas pada Alif lalu mengangguk ragu. "Iya, Tante."

"Masuk aja, Nak. Maria udah nunggu dari tadi," ujarnya mempersilahkan Sita dengan membukakan pintu ruang rawat anaknya.

"Baik, Tante," Sita mengangguk sebelum mengambil alih pintu untuk ia masuki.

"Masuk dulu, Tante," Alif di belakamg Sita mengangguk sopan pada ibu Maria.

Percayalah jantung Sita berdebar hingga telapak tangannya terasa dingin. Gadis itu menarik nafas lalu membuangnya perlahan. Menoleh pada Alif yang mengangguk sembari menepuk pelan memberi semangat di bahunya.

Hal pertama saat Sita menapakkan kaki jenjangnya di ruangan penuh dengan suara monitof dekat brankar adalah tubuh lesu Maria. Kulitnya yang putih semakin terlihat pucat, pun wajahnya yang sama memucatnya.

Sadar jika ada yang masuk, kepala Maria yang bagian dahinya terdapat perban dan Juan yang duduk di kursi dekat brankar menoleh tertuju kepada Sita dan Alif.

"Akhirnya kamu dateng juga," ujar Maria, bibir pucatnya terangkat menciptakan senyum tulus.

Sita menelan ludahnya, perlahan mengayunkan kaki mendekat pada Maria. Kepala gadis itu menunduk dengan jemari memilin di balik tas selempangnya.

"Juan, aku pengen ngomong berdua sama Sita, boleh?" tanya Maria.

Juan yang sedari tadi menatap Sita tajam hanya bisa mengangguk, menuruti permintaan Maria. Pemuda itu harus mengesampingkan egonya demi Maria.

"Jangan ngomong aneh-aneh," pesan Juan mengusap penuh kasih punggung tangan istrinya sebelum beranjak keluar.

Kini giliran Sita yang menghadap Alif yang setia berada di belakangnya. "Lif, keluar, ya?" pinta Sita.

Alif menghela nafas lalu mengangguk. "Jangan ngomong aneh-aneh," pesannya sama persis seperti yang Juan ujarkan untuk Maria.

"Iya, iya. Gak bakal ngomong aneh-aneh kok," Sita mengangguk mencoba meyakinkan.

Setelah Alif keluar meninggalkan mereka berdua, Sita masih berdiri dengan perasaan canggung.

Bagaimana tidak merasa canggung. Secara tidak langsung ia yang telah menyebabkan Maria sampai seperti ini dan jangan lupakan soal janin yang harus ikut menjadi korban. Sita rasanya ingin menangis saja jika mengingat fakta itu.

"Kamu ngapain berdiri aja? Sini duduk," ujar Maria semakin tersenyum manis, melambai menyuruh Sita.

Sita mengangguk samar, menarik kursi yang tadi Juan duduki untuk ia isi.

"Katanya waktu aku masih tidur kamu disini, ya?"

"Heem," Sita hanya mampu berdeham saja. Sungguh ia merasa orang paling jahat.

Lalu selanjutnya tidak ada suara lagi. Antara dua perempuan berbeda kondisi itu tidak ada cakap lagi. Sita hanya sibuk memilin jemari di atas pangkuan, membuang pandang guna menghindari kontak mata dengan Maria.

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang