LIMA PULUH DELAPAN

115 13 0
                                    

Happy Reading!

Bahunya merosot tak bertenaga. Melangkah lunglai menelusuri lorong apartemen.

Dengan keadaan kacau, Maria masuk ke dalan lift yang menghantarkannya sampai lantai dasar.

Tangis gadis itu tidak mau berhenti, seolah tak takut akan habis. Maria kini sudah berada di dalam mobilnya, dengan tangan bergetar ia melajukan kendaraan roda empat.

Malam itu, hujan turun begitu deras, seakan ikut bersedih melihat wanita sebaik Maria menangis tak terkira.

Ckiiittt

Menghentikkan mobil tiba-tiba, Maria menangis lagi. Rasa bersalah dalam benaknya memenuhi isi kepala.

Apakah kesalahannya sangat besar sampai-sampai Sita begitu sulit untuk memaafkannya.

Saat tak melihat kehadiran Sita di acara resepsi pernikahannya, Maria terus saja gelisah. Kemungkinan-kemungkinan yang sejak lama ia pendam semakin menguap, membuat Maria yang baru saja menyesaikan acaranya segera berganti pakaian untuk menemui Sita.

Mobil dilajukan lagi, kepala Maria sesekali menoleh ke gedung yang menjulang tinggi, berharap Sita akan mencegah kepergiannya.

Bertubi-tubi hujan menghantam atap mobil Maria, menciptakan suara yang beraturan. Di balik kemudi Maria tak pernah bosan menangis, memutar stir untuk berbelok.

Silauan cahaya menyambut, membuat Maria menyipitkan mata sembabnya. Dari arah berlawanan terdapat sebuh mobil box yang terlihat hilang kendali. Maria yang masih mendung, dibuat kelimpungan saat mobil box tersebut tergelincir ke arahnya.

Waktu berjalan sangat cepat membuat Maria yang hendak mengeluarkan diri dari mobil tidak diberi kesempatan.

Di tengah guyuran hujan, suara hantaman terdengar nyaring. Mobil hitam itu sudah penyok terhantam keras mobil box. Si pengemudi tubuhnya terhuyung ke depan membentur dash board dengan tidak santainya.

Maria semakin menangis, badan ia tegakkan meski rasanya nyeri. Aroma amis darah mengisi indra penciumannya, tangan Maria bergerak naik ke pelipis.

Tersedu-sedu, Maria menangis kejar. Seketika ia teringat sesuatu, tak lama kepalanya menunduk, secepat kilat kedua tangan memeluk perut.

Kepala Maria terasa berat, namun dekapan di perutnya semakin mengerat. Maria mendongak lagi, melihat sekeliling yang sudah ramai oleh orang-orang yang mengerubung.

Perlahan pandangan Maria mulai buram. Kepalanya semakin terasa berat walau digunakan untuk menegak, sampai kelopak mata ikut memberat, Maria tak sadarkan diri.

[][][]

"Kalo Maria kenapa-napa gimana, Lif?"

"Kalo terjadi apa-apa sama Maria, gue harus apa?"

"Ini salah gue. Gak seharusnya gue betak dia tadi, gak seharusnya gue marahin dia tadi, gak seharusnya gue usir dia. Gue harus apa?"

Racauan demi racauan terus Sita lakukan. Di kursi panjang depan ruang ugd, Sita bergerak tak nyaman. Alif yang menyaksikannya pun menjadi semakin cemas, terlebih saat melihat Sita yang menangis tersedu-sedu menyalahkan diri sendiri.

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang