EMPAT PULUH TIGA

126 10 3
                                        

Happy Reading!

Tahun 2020...

Usianya sudah beranjak 20 tahun, gadis berambut sebahu itu turun dari motor, melenggang memasuki bangunan yang halamannya di dominasi tanaman bunga lili.

Saat suara lonceng berbunyi orang di dalamnya serempak menolehkan kepala, saling melempar sapaan dengan dua orang berbeda jenis kelamin.

"Selamat pagi Kak Toni, pagi Vivi," sapa Sita riang, menyambar apron yang baru saja di keluarkan oleh Toni dari laci.

"Pagi," sahut keduanya berbarengan.

Setelah apron dikenakan, Sita mendekat pada Vivi yang tengah menurunkan kursi dari atas meja.

"Mbak Sita kuliah siang, ya?" tanya gadis remaja itu.

Sita mendelik mendengarnya, mendengus sebal karena Vivi lagi-lagi memanggilnya dengan embel-embel Mbak. "Kakak bukan Mbak, Vi. Kesannya gue tua banget."

Vivi cengengesan. "Hehehe, lupa."

"Emang lo udah tua kali, Ta," sambar Toni ikut-ikutan.

Mendengarnya Sita tak terima, menatap bengis pemuda tiga tahun di atasnya itu. "Dari pada kakak, udah tua belum nikah lagi," deliknya mendapat sahutan tawa dari Vivi.

"Kita semua itu seumar tau, cuma guenya aja yang lahirnya keduluan."

Kompak dua cewek itu saling melempar pandang. Sama-sama menahan tawa sampai akhirnya suara cekikikan pun tersengar.

"Wajarin aja, Vi, orang tua hobinya halu terus," ucap Sita mencuri lirik lewat ekor mata.

Vivi mengangguk. Hal yang paling ia sukai jika mereka sudah bertemu adalah ia bisa bebas menggoda Toni sesuka hati.

Toni mengusap-usap dadanya, padahal disini dirinya yang paling dewasa tetapi selalu kena semprot mulut pedas Sita. "Nggak punya akhlak kalian berdua. Berasa gak ada harga dirinya gue," dengusnya menatap sebal dua cewek berbeda generasi itu.

"Kak Toni," panggil Vivi, Toni menaikkan alisnya. "Yang sabar ,ya," lanjutnya makin membuat Toni mencebik sebal.

Setelah dirasa semua kursi sudah berada di tempatnya, Sita mendekat pada Toni yang berada di balik meja bar.

"Bubuk kopi udah di ambil, Kak?" tanya Sita memfokuskan pandangannya pada Toni yang sedang meracik kopi.

"Udah barusan," jawabnya lalu menyerahkan satu cup kopi pada gadis itu. "Nih coba, racikan baru."

Segera Sita menerimanya. Sebelum menyeruput kopi di cup kecil itu,terlebuh dahulu ia mencium aromanya.

"Emmm enak banget, Kak," pujinya setelah menenggak habis kopi hitam legam itu.

"Siap deh kalo lo suka, tinggal masukin menu aja," ujarnya lalu keluar dari area dapur. Pemuda itu meraih sebatang kapur lalu menulis sesuatu pada papan yang tergantung di atasnya.

Sita tersenyum, retinanya menjelajah ke setiap penjuru kafe. Walau belum lama kafe yang menjadi hadiah ulang tahun dari sang ayah berdiri, pelanggan sudah cukup dibilang ramai.

Sebab tak tahu menahunya tentang kopi, Bagas pun merekomendasikan Toni yang memang sudah ahlinya meracik kopi untuk berkerja sama dengannya.

Awalnya hanya mereka berdua saja yang mengelola, namun saat pelanggan yang tiap hari semakin ramai, pekerja tambahan pun mereka butuhkan.

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang