DUA PULUH TUJUH

109 14 0
                                    

Kasih Votesnya jangan di lewat!

Happy Reading!


Pagi itu, hari minggu. Sita sudah siap dengan pakaian berupa baju rajut berwarna merah melekat pada tubuh atasnya, serta celana jeans panjang biru laut sebagai bawahan.

Di depan pantulan cermin, Sita mengoleskan gincu berwarna senada dengan bibirnya yang merah muda. Setelah di rasa sudah siap, gadis berkuncir kuda itu memungut tas selempangnya yang berada di nakas.

"Mau kemana?" Kalimat sambutan yang gadis itu dapat setelah menginjakkan kaki di luaran kamar.

"Meet up sama temen." Jawab Sita cepat pada adiknya. Ia berlalu begitu saja karena memang sudah mendapatkan izin dari kedua orang tuanya.

Tidak menunggu lama-lama lagi, saat membuka gerbang, ojek online pesanannya sudah sampai.

Tanpa banyak mengucapkan kata-kata, gadis cantik itu mengenakan helm berwarna hijau kebanggaan para ojol.

Sepanjang perjalanan, gadis yang menjadi penumpang lakukan hanya memperhatikan layar ponsel yang menampilkan rentetan chat dengan Juan yang entah mengapa jika di baca ulang bisa menggelikan perut.

Sampai, tempat tujuan sudah di depan mata. Sita turun, menyerahkan helm serta uang dua puluh ribuan pada driver pria baya yang mengangguk terima kasih.

Gedung megah sudah menjadi fokus pandangannya, sekarang yang gadis itu lakukan tinggal mencari seseorang yang sudah saling sepakat untuk bertemu.

"Sita." Suara perempuan melambai-lambai tangan menjadi titik tuju retina indah itu.

Ia berjalan menuju pemilik suara, tersenyum lalu beralih ke posisi berada di belakang Maria. Mendorong kursi roda memasuki tempat gudangnya buku.

"Aku mau cari kamus." Ujar Maria menunjuk rak buku yang terletak di sudut kiri.

"Ya udah, gue dorongin." Sita memberi tawaran.

Namun entah mengapa saat gadis itu akan melajukan kursi roda, kedua rodanya tiba-tiba macet, tidak bisa di gerakkan.

"Lho, kok macet, Ri." Sita menunduk, memastikan apa penyebab roda itu tak mau bergerak, ternyata yang menjadi penyebabnya adalah roda itu terkunci dan menjadi tersangkanya adalah Maria sendiri.

Maria mengulum senyum. "Aku kesana sendirian aja, kamu kalo mau cari buku cari aja." Ujarnya, sedetik berikutnya sudah ngacir menggeret kursi roda sendiri.

Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Sita dengan senyum merekah mendekati ke sebuah rak yang menjejerkan tumpukan-tumbukan buku novel fantasi yang sangat amat Sita sukai.

Memilah-milah setiap buku yang berada di rak agar bisa ia beli untuk memanjakan matanya, sambil sesekali melirik Maria yang sama sedang memilih-milih buku berhalaman tebal.

Berganti ke Maria, gadis berkulit putih pucat itu terus menggeret roda dengan tangan yang sudah memerah telapaknya, menelusuri tempat paling ia rindukan semasa berbaring di brankar rumah sakit.

Seperti tujuan awalnya, Maria akan mencari kamus berisi bahasa prancis. Namun saat tahu buku tebal itu terletak jauh dari jangkauannya, Maria dengan sangat terpaksa mencoba berdiri. Meletakkan satu persatu kakinya pada lantai yang masih terasa berat, berlanjut dengan kedua tangan yang menumpu pada bahu kursi. Dengan menahan rasa nyeri di bagian kaki, Maria perlahan-lahan menegakkan tubuh, hingga..

Bruk..

Maria memejamkan mata rapat, sudah pasrah jika tubuhnya tertindih rak bersama tumpukan buku karena tubuhnya yang merosot menghantam rak.

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang