TIGA

382 40 7
                                    

Happy Reading!

"Kebangetan lo, Sita. Ke jakarta gak bilang-bilang ke gue. Gue jadi ngerasa gak di anggep sahabat sama lo."

Kalimat demi kalimat terus saja terlontar tak berhenti sejak satu jam lalu dari mulut perempuang yang duduk berhadapan dengan Sita.

"Lo tau, gue tiap hari selalu nanya ke bang Bagas, kapan lo ke jkt lagi, kapan lo sekolah disini. Tapi... " Wanita itu menggeleng-geleng kepala. "Dengan teganya lo gak kasih kabar, sakit hati hayati." Ucapnya mendrama. Meremas kaos bagian dada, seakan sedang merasakan sakit begitu dalam.

Sita berdecih, menempeleng kepala sahabatnya itu. "Lebay lo." Kata Sita, gemas sendiri dengan tingkah gadis bernama Sella itu.

"Lagian lo sih bikin gue sedih aja." Sella mulai berceloteh lagi. Membicarakan ocehan yang tidak mesti harus didengarkan.

Saat seorang barista datang, mata Sita berbinar. "Penolong akhirnya datang." Katanya dalam hati.

Barista lelaki itu meletakkan pesanan dua remaja yang menempatkan diri pada kursi dekat dengan jendela kaca itu, yang menperlihatkan para pejalan kaki dan para kendaraan yang hulur mudik menuju tempat tujuannya masing-masing.

"Udah ya ngocehnya, mending lo minum aja, kasian gue sama tuh mulut dari tadi ngebacot terus." Ujar Sita, perempuan yang kali ini memakai celana jeans dongker itu meraih gelas berisi coffylatte pesanannya.

"Mending gue banyak bacot dari pada lo punya mulut pedes kayak cabe-cabean bonceng tiga."

Sita memutar bola matanya malas, telinganya sudah benar-benar pegal mendengarkan Sella sedari tadi.

Saat Sella sedang hikmat-hikmatnya menikmati Hot Coffy-nya, Sita memanggil.

"Apa?" Sahut gadis itu.

"Lo yang bayar ini 'kan?"

Karna Sella yang terburu-buru mengajaknya, membuat Sita melupakan barang yang wajib ia bawa kala akan jajan seperti ini.

"Kok gue?"

Sita menyengir lebar, memperlihatkan deretan gigi putihnya. Membuat firasat Sella menjadi tidak enak saja.

"Gue lupa bawa dompet"

Nah 'kan. Sesuai dengan apa yang Sella fikirkan. Pasti sahabatnya itu tak membawa uang.

Dengan muka yang patut dikasihani, Sella mengangguk.

[][][]

Sita kira Sella akan mengajaknya nongkrong di cafe saja, taunya masih berlanjut di sebuah Mall ramai penduduk yang terletak di pusat kota.

Pemandangan para manusia berlalu lalang menjadi tontonan bagi Sita. Dirinya sudah sangat lelah, mata indah gadis itu sudah sayu karna ingin tidur, tapi semua itu harus ia tahan karna menemani Sella memilih-milih baju yang akan dia beli.

Kaki Sita menghentak-hentak di pijakannya, berharap itu bisa membuat betisnya tidak pegal.

"Sell, yuk pulang." Ajak Sita yang sudah tak kuat menopang berat badannya.

Sella yang berjalan disebelahnya hanya menggelengkan kepala. "Masa pulang, 'kan belum beli baju." Ujarnya layu.

"Tapi kita udah dua jam disini, muter-muter gak jelas. Kaki gue pegel."

"Sebentar lagi ya, please." Sella menyatukan kedua tangannya, dengan telapak tangan saling menempel, dia memohon. "Ya, ya."

"Dua puluh menit, gue tinggal." Sita mengancam. Padahal jika Sella tidak memenuhi syarat yang ia ajukan, Sita 'pun tak akan meninggalkan gadis itu, secara dia juga sudah lupa dengan jalan menuju tempat tinggalnya berada.

Sella senyum semangat, mengangkat tangan kanan keatas kepala membentuk sikap hormat. "Siap boss."

Dengan penuh semangat 45, wanita itu mencekal cepat dan menarik tangan Sita dengan tergesa-gesa. Membawa tubuh lelah Sita pada store yang akan Sella gunakan untuk membeli baju.

[][][]

Sang surya sudah kembali ke ufuk barat, langit mulai memetang, dan artinya malam telah tiba.

Sama halnya dengan Sita, gadis itu baru tiba di kediamannya selepas kumandang azan maghrib dikumandangkan.

Lengan yang lemas harus Sita angkat agar bisa digunakan untuk mengetuk pintu rumah. Setelah cukup lama berdiri tanpa tanda-tanda akan ada orang yang membukanya, Sita akhirnya berniat mengetuk pintu kayu yang terbuat dari jati itu lagi, tapi tidak jadi karna pintu sudah di buka lebar.

"Kemana lo?" Sang adik bertanya menjadi penyambut kepulangannya.

"Jalan sama Sella." Jawabnya seraya masuk kedalam rumah, meletakkan sepatu kets yang habis ia pakai ke rak sepatu.

Alis Andini terangkat satu. "Dari pagi itu?" Andini heran, padahal mereka keluar saat matahari masih bersinar terang diatas sana tapi pulang hingga petang seperti ini.

"Lo kayak gak tau Sella aja."

Setelah mengatakan itu, Sita bergegas masuk ke dalam kamar, merebahkan tubuhnya yang sudah remuk karna ulah Sella.

Memang sudah kodratnya atau bagaimana. Sella yang berjanji akan selesai berbelanja hanya dua puluh menit saja, mengingkar. Dengan sialnya Sita harus bersabar lagi menunggu Sella selama satu jam lebih.

Sella sialan. Umpat Sita dalam hati.

[][][]

Hallo. Bagaimana tanggapan kalian dengan cerita diatas?

Jangan lupa vote, comment dan share ya😊

Salam sayang, cici.

Rabu, 11 Maret 2020

Singgah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang