Hari keempat.
Kini mulai ada semangat baru bagi Alfia untuk berangkat sekolah. Sepanjang perjalanan Alfia tak ambil pusing dengan mulut sebagian para murid menggosip tentang dirinya.
Seperti tak ada kerjaan, selain gosip--gitu. Mungkin saja prinsip mereka, No gosip, no life.
Tak lupa Alfia mencabuti kertas-kertas berisi tulisan tak tercela tertempel di dinding. Namun kertas ini lebih banyak dari kemarin dan Alfia tetap tak akan, membacanya!
Alfia menggumam, "Ihh, nihh kertas kalo makhluk hidup, gue bakalan ngajakin colab transisi, daripada ikutan ngejek gue." Cerocosnya.
"Kalo gak, duet lagu Lingsir wengi pake DJ gagak sama DJ akimilaku." Lanjutnya menyebutkan salah satu lagu kesukaannya, yaitu Lingsir wengi. Bahkan Alfia sudah sangat hapal lagu tersebut.
Setiap malam, tak jarang Alfia menyetel lagu tersebut, seorang diri. Tapi volume suaranya dinonaktifkan.
Apakah kalian bisa membayangkan?
Back to the topic, Alfia membuang kertas itu ke tempat sampah. Lalu Alfia segera bergegas pergi dari tempat itu dengan berjalan santai. Tidak peduli dengan tatapan mereka saat Alfia melewatinya.
Kata-kata Hany, BODO AMAT! sudah melekat dalam otaknya. Dia Hany, entah kenapa dia terlihat pendiam dan nampak tidak peduli, tapi sebenarnya dia sangat peduli. Sampai sekarang juga, Alfia masih tidak percaya dan menganggap itu khayalan semata. Alfia merasa malu sebab pernah menjerit tak jelas disertai tangisan.
Sedikit mirip dengan Clarissa dulu, ketika Alfia pertama kali bertemu dan sadar bahwa Clarissa bersekolah di SD yang sama. Ah! Lupakan saja, Alfia. Semuanya percuma jika diungkitkan kembali.
Aku ingin berusaha melupakan kenangan dan kebersamaan dengan dia dulu.
Namun kenapa sangat susah untuk 'lupa?
Padahal dia seorang pengkhianat.
Alfia masih berdiri di depan pintu kelas yang masih tertutup dan tidak terdengar suara gaduh dari dalamnya. "Perasaan gue kok jadi gak enak ya?" Pikirnya dengan berprasangka buruk. Biasanya jam sekarang pintu kelas sudah terbuka.
"Gak, masuk, gak, masuk, gak?" Ia menghitung kelima jari tangannya sebagai penentuan. "Masa enggak sih." Kesalnya pada diri sendiri sampai jingkrak-jingkrak disitu disertai ngoceh-ngoceh tidak jelas. Alfia bingung untuk memilih masuk atau berdiri diam disini seakan ia menjadi penjaga pintu. Tapi kalau Alfia tak masuk kelas, berarti ia tak ikut pelajaran.
Nunggu Hany dulu? Hm ide bagus, tapi kelamaan juga.
Kenapa Alfia begitu ragu?
"Yaudahlah gue milih masuk, daripada gue diculik sama om-om." Celetuk Alfia tanpa berpikir terlebih dahulu. Gagang pintu itu dipegang oleh Alfia dan dalam sekejap pintu itu terbuka lebar dengan sempurna, namun ada satu kejadian yang membuat Alfia muak.
Bruk.
Sebuah ember yang berada di atas pintu digantung dengan tali, menumpahkan isinya yang jelas Alfia tak tahu apa itu. Embernya memang tidak jatuh, hanya saja sedikit miring akibat Alfia membuka pintu. Dan muaknya lagi baju batik Sekolah yang tengah Alfia kenakan ini sudah dilumuri dengan isi ember tersebut, bau amis juga menyeruak ke indera penciuman Alfia sehingga ia ingin muntah.
Tunggu! Bau amis? Mungkinkah ini telur?
Mereka yang berada di dalam kelas tertawa tanpa bermaksud menolong tanpa rasa kasihan, sebagiannya lagi hanya cuek dan menganggap itu tidak terjadi dan pura-pura menyibukkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kami Sahabat Sejati [COMPLETED]
Художественная проза"Persahabatan sejati kami tidak akan mudah hancur bila tak ada satu pengkhianat." Berawal dari Hany, Felina, Ajeng, Alfia, Luna dan Gifta memasuki SMP Winanta. Mereka menjadi sebuah sahabat sejati dan berjanji akan saling menjaga satu sama lain. Ala...