Chapter 34

122 38 4
                                    

2 hari kemudian...

Hari ini kelas mereka berolahraga mempelajari tentang teknik permainan bola voli yang digurui oleh Pak Bohit. Cuaca saat ini sedang kemarau, jadi panas-panasan di tengah lapangan dapat menyehatkan tubuh karena menghasilkan vitamin D. Namun masih saja ada yang mengeluh, siapa lagi kalau bukan Clarissa. Dia mengipasi wajahnya dengan tangan kanan. "Olahraganya kapan sih? Gerah banget." Dumal Clarissa, tidak mengikuti mereka yang tengah pemanasan.

"Lebay! Gitu doang langsung ngeluh! Paling nanti juga pingsan!" Balas Alfia, menertawai di dalam hati. Sebenarnya ia bukan bermaksud menyumpahi Clarissa, tapi lebih tepat disebut mengharapkan saja. Beda ya, menyumpahi dengan mengharapkan.

"Lihat aja nanti. Gue atau Lo yang akan pingsan." Clarissa tersenyum sinis membuat perasaan Alfia tak enak menatap senyuman itu.

Walaupun begitu Alfia tetap menjawab. "Oke. Gue gak akan kalah dengan seorang pencuri." Kalimat ini sangat memperumpamakan dalam sebuah arti. Tentunya sangat sulit untuk menebak-nebak ada masalah apakah mereka berdua.

"Maksud Lo apa?!" Clarissa merasa tersindir.

"Udah dibantu, malah ngelunjak. Ya emang, keadaan Lo itu terlalu memprihatinkan." Ucap Alfia yang lebih menusuk.

"Lo berani bilang gitu, lihat apa yang gue lakuin nantinya. Entah itu Lo atau sahabat Lo." Ucap Clarissa dalam bentuk ancaman.

Ajeng dan Felina tengah berbaris dibelakang mendengar percakapan ini langsung membicarakannya. Kebetulan sekali Pak Bohit sedang lengah. "Ajeng, gue kayaknya ketinggalan berita deh." Felina memulai percakapan ini.

Ajeng juga sama merasa begitu. "Gue juga sih. Tapi kenapa Alfia dan Clarissa ngomong gitu? Kayak ada batu dibalik udang." Sahutnya.

"Udang dibalik batu." Ralat Felina.

"Nah eta." Jawab Ajeng. "Kira-kira ada apa ya mereka berdua? Kelihatannya akrab banget."

Felina bingung. "Hah akrab?" Ia meneliti lagi pembicaraan antara Alfia dan Clarissa. "Akrab dari mananya? Saling adu ngomongnya kok di bilang akrab." Komentar Felina. Masa pandangan orang yang sangat sengit, dibilang akrab. Aneh banget sih.

"Ya. Gue salah ngomong. Oh iya, nanti kita akan mengidentifikasi pembicaraan ini." Ucap Ajeng yang masih salah juga.

"Investigasi, bukan identifikasi. Kenapa Lo ngomong suka salah sih?"

Ajeng tak mempercayainya, "Sih masa ah?" Tanyanya.

"Ah, masa sih! Gue yakin ini gara-gara eksperimennya Luna." Ucap Felina berkeyakinan.

"Percaya gue gak."

"Bodo amat." Lebih baik Felina fokus menghadap ke depan, jangan menengok lagi ke samping kanan.

Pak Bohit menepukkan tangannya mengisyaratkan agar pandangan murid kembali ke depan. Sebab beberapa murid masih ada yang asik berbicara diam-diam dan tertawa. "KALIAN BUKANNYA MEMPERHATIKAN, MALAH ASIK NGOBROL AJA!" Ujar Pak Bohit memarahi semua anak didiknya tengah diajarnya.

"Iya, pak, karena kalau mencari keasikan seperti mengobrol, maka dapat melupakan perhatian mantan ke orang lain." Sahut Rayfan.

Pak Bohit menjewer daun telinga Rayfan tanpa ampun. "Kamu ini ya, masih kecil udah ngomongin mantan aja!" Ucapnya garang.

"Aduh ampun, Pak. Saya kan cuman bercanda doang. Lagian juga saya gak pernah pacaran kok." Balas Rayfan mengaduh kesakitan. Namun semua teman sekelasnya tertawa melihat Rayfan tersiksa.

Akhirnya Pak Bohit melepaskan jewerannya pada telinga Rayfan yang sudah sedikit merah, makanya Rayfan mengusap telinganya. Lalu guru itu berkata, "Sebelum memulai bermain voli, kalian lari dulu memutari lapangan sebanyak sepuluh kali." Suruh Pak Bohit. Semua murid menganga tak percaya, lapangan sekolah ini sangat luas.

Kami Sahabat Sejati [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang