Keping 9 : Sakit Perut

1.9K 175 3
                                    

happy reading

......................

Izzu tumbuh dewasa di Mesir, bersama teman-temannya, Izzu menjadi layaknya pemuda Mesir pada umumnya, dengan tingkah laku dan karakter yang sarat makna akan nilai-nilai Islam.

Bagi pelajar disana, hidup dengan aturan yang ketat sudah menjadi makanan sehari-hari. Terkhusus untuk para pemudanya. Layaknya tinggal di negri koboi, Izzu dan teman-temannya digembleng untuk tidak jadi pemuda yang lempeng dan kendor.

Izzu bukan anak yang manja, ia memilih untuk mandiri dan lepas dari bayang-bayang ayahnya selama berkuliah. Seperti mahasiswa perantauan lainnya, Izzu benar-benar sempurna bertingkah seolah-olah orang tuanya tak ada di sana.

Berebut mengejar bus demi dapat menuju kampus selalu Izzu lakoni bersama teman-temannya. Jangan harap supir bus akan berhenti saat ada pemuda yang menunggu. Mereka harus berjuang mengejar dan merasakan sensasi berkeringat sebelum berkuliah.

Tapi jangan tanya jika yang menanti bus itu adalah kaum ibu-ibu, tanpa si ibu-ibu melambaikan tangan pun, supir bus akan berhenti dengan sendirinya dan menunggu dengan sopan sampai ibu-ibu yang menanti bus itu naik.

Disana, wanita... khususnya ibu-ibu sangat dihormati. Bagi kaum lelaki, berani menghardik dan berkata kasar pada kaum wanita, maka itu adalah aib.

Bagi masyarakat Mesir, ada dua golongan yang secara umum memang dihormati, dan semua orang tahu tentang itu. Satu adalah para ulama. Dan dua adalah kaum ibu-ibu.

Itu sebabnya, sampai kembali ke Jakarta pun, Izzu tetap pada pendiriannya, selalu dan akan selalu menghormati para wanita. Seperti Islam yang mengajari bahwa kaum wanita adalah makhluk yang sudah menjadi sunnatullah untuk dilindungi dan disayangi oleh kaum lelaki. Berdebat dengan wanita adalah aib. Berselisih paham dengan wanita adalah aib. Dan menyakiti wanita dengan kata-kata juga aib.

Itu sebabnya, sejak memperdalam ajaran yang Rasulullah bawa ketika berkuliah dulu, Izzu selalu berusaha dari hari kehari memperbaiki diri dan sikapnya terhadap sang bunda. Mempraktekkan ilmu di live-action. Real.

Saat ini pun, dengan Naya, Izzu juga melakukan hal yang sama. Berusaha memperlakukan sang dara sesuai dengan apa yang ia percaya dalam agamanya.

Mereka berdua sudah berada di kamar masing-masing. Izzu menempati kamar lamanya. Sementara Naya tertelentang sembarang di kamar bekas Izza.

Mereka berdua sebenarnya adalah pasangan yang sah. Bukan kaleng-kaleng. Ikatannya suci. Dilakukan dengan cara yang halal. Dan benar-benar sepasang suami-istri.

Hanya saja oh hanya saja, keduanya masih mencoba menutupi fakta itu. Karena kesepakatan. Tersebab aturan. Tapi tentunya, diantara keduanya, Naya yang paling getol dan ngotot membangun tembok penghalang.

Besok, mereka berdua akan menghadapi hari baru sebagai pasangan yang sah tapi berlagak tak saling ada hubungan.

Naya sudah terkapar usai sholat Isya. Entah mengapa, ia terlihat begitu kelelahan. Padahal yang membersihkan rumah seharian adalah Izzu. Entah mengapa, dara bermata jeli itu seolah kehabisan tenaga, padahal yang memasak makan malam tadi adalah Izzu. Naya hanya tinggal makan. Naya hanya tinggal bermain-main. Naya hanya tinggal nyolot, tapi Naya yang terlihat sangat letih di ranjangnya.

Rumah itu hening saat jangkrik mulai mengalun nyanyian syahdunya di tengah malam. Hanya desingan angin yang menghiasi ruang antara kamar Izzu dan Naya. Terdengar begitu pilu dalam kesunyian.

Bagi Izzu, menempati kembali kamarnya bukanlah perkara besar. Toh itu ruangan yang pernah menjadi miliknya dulu. Hanya butuh beberapa penyesuaian sampai benar-benar kembali merasa akrab.

ZuNayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang