Keping 38 : Awkward, Always Awkward

1.5K 167 16
                                    

happy reading

........................

Padahal Izzu masih baru melafalkan setengah dari keseluruhan ayat. Padahal Naya masih menikmati setiap getaran suara si tampan yang masuk langsung ke gendang telinganya. Padahal mereka berdua, ehem meski malu-malu... benar-benar melalui setiap detiknya dengan perasaan yang tak bisa diutarakan lewat kata-kata.

Tapi, tiba-tiba sebuah suara memutus momen indah itu tanpa tenggang rasa.

Baik Naya maupun Izzu, karena terkejut langsung melepaskan rangkulan mereka. Membuang wajah satu sama lainnya. Saling menyamping.

"Siapa itu, Nay?" Izzu bertanya, mencoba membuang rasa canggungnya.

"Bukan suara ibu." Naya menjawab cepat.

"Lalu?" Izzu bertanya lagi.

"Ya mana gue tau, Tad. Orang kita berdua di dalam. Lagian lu kekep gue ampe yang tinggal cuman wajah gue aja. Terus lo nanya siapa yang diluar sana. Lo kata gue cenayang?" Naya menjawab cepat.

Izzu bertambah-tambah malu. Aktivitasnya mengurung si dara disebut-sebut oleh yang punya diri secara langsung, "Ku kira kamu tahu."

"Udah ah, gue sedang nggak mau berdebat." Naya menyudahi percakapan itu, lalu ia melangkah menuju pintu. Tak peduli dengan Izzu yang ia tinggalkan beberapa langkah di belakang. Naya sengaja menghindar, benar-benar sengaja, biar malunya tak bertambah-tambah mekar.

Namun, saat tangan dara itu hendak memutar gagang pintu, Izzu bersuara menghentikan, "Tunggu dulu, Nay."

Naya menoleh pada lelaki yang berjarak dua langkah dibelakangnya, lalu menyahut santai "Ada apa?"

"Wajahmu." Izzu berkata sambil berjalan mendekat, "Kalau kamu keluar dengan wajah seperti itu, siapa pun akan berpikiran buruk tentangmu."

"Emang wajah gue kenapa?" Naya bertanya heran,"Burik?"

Izzu tersenyum, lalu mengeluarkan sapu tangannya dan tanpa ancang-ancang langsung mengelap bentangan wajah dara bermata jeli itu sambil menjawab sopan, "Merah."

Jeder! Naya tertohok. Satu, karena tangan Izzu langsung mengelap wajahnya tanpa pemberitahuan. Dua, karena wangi sapu tangan Izzu sewangi embun rumput di pagi hari, persis seperti aroma tubuh si tampan. Dan tiga, karena kata-kata Izzu yang sudah kelewat batas, enteng sekali menyampaikan kalau wajahnya sedang memerah.

"Mulut lo lancar ya, Tad. Ngatain wajah gue merah." Naya angkat bicara, sambil membawa wajahnya menjauh dari tangan Izzu.

Tapi gerakan Naya kalah cepat, Izzu telah menahan kepala belakang sang gadis dengan tangan kirinya sebelum jarak mereka melebar, agar Naya tak melarikan diri, dan tangan kanannya masih terus mengelap lembut bagian bawah mata Naya, lalu berkata pelan, "Kamu habis menangis, tentu saja merah."

Naya terdiam, 'merah' yang dia pikir ternyata berbeda dengan 'merah' yang Izzu pikir.

"Biar ibu tak khawatir, lap dulu bekas air matanya, adinda." Izzu berkata penuh kasih sayang dengan tangan yang masih cekatan membersihkan sisa-sisa air mata diwajah sang dara.

Naya tak bisa mengelak lagi. Malu dan haru bercampur jadi satu. Membalut erat setiap pori-pori diwajahnya.

Seperti bocah, Izzu benar-benar memperlakukan gadis itu seperti bocah. Sabar dan penuh kehati-hatian dalam mengelap jengkal demi jengkal wajah sang dara.

"Sudah." Izzu menarik tangannya, lalu tersenyum dan berkata lembut, "Sekarang kamu bisa buka pintunya."

Naya tak menjawab. Perlakuan Izzu barusan sudah cukup untuk menyita setengah alam sadarnya. Tak ingin berlama-lama di ruangan itu bersama si ustad yang mendadak romantis, Naya memutar gagang pintu sekuat yang ia bisa, membuka pintu, berharap bisa keluar secepat mungkin.

ZuNayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang