Keping 48 : Selalu Untukmu

1.3K 155 29
                                    

happy reading

........................

Naya masih dikepit erat oleh suaminya. Tak dilepas sedetik pun. Tangan Izzu kuat mengunci sang dara, dan jemarinya menepuk pelan pundak Naya, berusaha menenangkan.

Naya benar-benar menumpahkan semua rasa sedihnya. Semuanya.

Lihatlah, pundak sebelah kiri Izzu kini sudah basah seperti kehujanan, padahal itu karena air mata dan ingus sang dara.

Izzu membiarkan Naya manangis sekitar sepuluh menit lamanya. Mereka sudah berhenti di pinggir jalan itu hampir setengah jam.

Setelah dirasa cukup, Izzu mengangkat tubuh Naya. Menjarakkannya dari tubuhnya. Menatap lembut istrinya itu lalu berucap pelan, "kita ke rumah lagi yuk? Kita temui ibu. Kamu siap?"

Naya tak menjawab. Tentu saja ia tak siap. Tapi mau bagaimana lagi, siap tidak siap ia harus jalani semuanya.

Naya menyandarkan tubuhnya lemas ke dekat jendela, menatap keluar sambil terus berderaian air mata. Sementara Izzu kembali memegang kemudi, membawa mobil bututnya melaju ke badan jalan.

Mereka menuju rumah duka. Ya, rumah penuh bunga yang kini kembali menjadi rumah duka. Untuk kedua kalinya.

"Tad..." Naya tiba-tiba bersuara sambil terisak, "kenapa harus gue, Tad?"

"Karena kamu yang sanggup." Izzu menjawab cepat.

"Gue nggak sanggup." Naya mengeluh pelan.

"Allah tak pernah salah memilih. Kamu bilang tidak, tapi bagi Allah... diantara banyak wanita diluar sana, kamu yang sanggup. Makanya kamu yang melewati semua ini." Izzu mencoba menenangkan hati Naya.

"Tapi gue benar-benar nggak sanggup, Zu." Naya menimpali lesu.

"Kamu kuat, Nay." Izzu menyemangati.

"Gue kehilangan ayah enam tahun lalu. Hidup gue berubah semuanya. Gue harus mati-matian jadi tulang punggung keluarga, kuliah nggak kelar, orang yang gue harap ada buat gue malah ilang gitu aja. Dan sekarang... disaat gue sedang merasa hidup gue lebih baik dari enam tahun lalu, ibu pergi gitu aja. Padahal kemarin... padahal kemarin...ibu masih... ibu..." Naya tak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya.

"Setiap jatah kehidupan sudah ditentukan, Nay. Tidak ada seorang pun yang tahu dimana dan kapan ia akan menemui akhirnya." Izzu mengeluarkan suaranya, walau ia tahu kalimatnya sama sekali tak menghibur, "jangan mengeluh dengan jalan hidupmu. Jika ujiannya berat, maka bersabarlah, Allah sedang menyiapkan karunia yang besar dibalik ini semua. Kamu harus percaya itu."

"Ngomong sih enak, yang ngalaminkan gue." Naya memotong.

"Aku tahu." Izzu menimpali, "tapi setidaknya kini kamu tak sendirian. Kita akan lewati semuanya bersama, Nay. Sepahit dan semenyedihkan apa pun itu, aku tak akan meninggalkanmu."

Naya menolehkan wajahnya pada Izzu.

"Kalau bisa, aku bersedia menerima semua rasa pilu, sedih, perih, dan kehilanganmu. Biar aku yang tanggung, agar kamu tak terlalu terluka." Izzu berkata sangat serius.

Air mata Naya bertambah lancar membanjiri pipinya. Gadis itu masih menatap Izzu tanpa kedip. Membiarkan air matanya meluncur tak terkendali.

"Dan kalau saja Allah izinkan saat ini aku bisa mentransfer jatah hidupku, aku akan berikan pada ibu agar ibu bisa bersamamu lebih lama. Tapi itu mustahil." Izzu masih bersuara menghibur sang dara.

Naya menggeleng, "nggak... setelah ibu, lo nggak boleh pergi ninggalin gue. Nggak boleh, Tad!" Naya terus terisak, tapi ia berlomba dengan tangisnya agar bisa bicara, "biar gue yang pergi dari pada harus nerima kenyataan sekali lagi ditinggalin kayak gini."

ZuNayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang