Keping 4 : Demi Ibu

1.9K 218 3
                                    

happy reading

......................

Izzu memang kembali ke ruang tengah lebih dulu. Meninggalkan Naya sendirian di tepi kolam. Bergabung kembali dengan umi, ibu Naya, Sandra dan Davin yang menunggu cemas di ruang tengah.

Saat ini, umi Izzu tengah memeluk ibu Naya yang sedang menangis terisak-isak. Sedangkan Sandra dan Davin hanya membisu saling menunduk. Tak tahu harus melakukan apa.

Melihat anaknya kembali, umi Izzu langsung bertanya, "Bagaimana, apa sudah kalian putuskan?"

Izzu menggeleng menatap ibunya, lalu duduk di dekat Davin.

"Maafkan Naya ya nak Izzu. Maafkan anak ibu." Ibu Naya meminta maaf tulus kepada Izzu. Merasa sangat bersalah atas sikap anaknya yang jauh dari ramah.

"Tidak apa-apa bu, Naya tidak salah apa pun. Aku memahami kondisinya." Izzu menjawab sopan.

"Tapi ibu tetap merasa tak enak. Ibu sangat merasa malu dengan nak Izzu." Ibu Naya melanjutkan kalimatnya.

Kali ini belum sempat Izzu menjawab, umi Izzu yang sekaligus sahabat kecil ibu Naya ikut angkat bicara, "Izzu benar, Dinar. Naya mungkin sedang dalam kondisi hati yang tidak nyaman. Kami sangat memahami. Ini semua terjadi secara tiba-tiba, tentu saja dia akan merasa terkejut."

Mendengar kalimat sahabatnya itu, ibu Naya semakin berderaian air mata.

Sandra yang melihat keadaan itu juga tak kuasa menahan air matanya. Gadis berambut segi itu ikut berlinangan tanpa bisa ia kendalikan.

Ruang tengah yang tadinya diharapkan bisa menampung gelak tawa dan kebahagiaan orang yang ada di dalamnya, seketika berubah menjadi ruang duka dalam naungan air mata. Tidak ada tanda-tanda bahagia di sana. Sama sekali tidak ada.

Dalam temaram perasaan sendu yang menyelimuti ruangan itu, si gadis bermata jeli yang saat ini masih berpakaian kemeja dengan rok hitamnya datang menghampiri. Naya berdiri di dekat sang bunda dengan mata bengkak dan hidung merah. Nampaknya sudah mulai bisa menghentikan tangisnya.

Duduk bersimpuh di dekat kaki ibunya, Naya berkata dengan suara serak yang tertahan, "Kenapa bu? Kenapa ibu nggak cerita apa-apa sama Naya? Kenapa Naya nggak tahu apa-apa soal perkembangan penyakit ibu? Kenapa harus orang lain yang tahu? Kenapa bukan Naya, Bu?"

Dara berambut hitam sebahu itu kembali menangis. Air matanya tumpah membanjiri lutut sang bunda.

Dinar, sang bunda juga tak kuasa menahan tangisnya. Dengan lembut disentuhnya kepala gadis semata wayangnya itu sambil tersedu, lalu berkata lirih "Ibu hanya tidak ingin kamu sedih nak."

"Justru mengetahuinya dengan cara yang seperti ini Naya bertambah sedih bu." Naya menyahuti sambil menahan isak.

Tidak hanya sang bunda, bahkan umi Izzu yang duduk di sebelah bundanya juga ikut menggenggam bahu kiri gadis itu. Berusaha menguatkan.

"Ibu menceritakan semuanya ke umi Izzu karena ibu yakin umi Izzu pasti akan menjaga mu seperti dia menjaga anaknya sendiri. Kami sudah berteman lama dan sangat dekat." Ibu Naya berkata lirih.

"Kata dokter, penyakit ibu ini tidak lagi bisa diprediksi. Semakin hari rasanya semakin menyesakkan. Ibu tak ingin mengganggu pikiranmu, makanya ibu tak cerita. Tapi.... ibu ingat bahwa ibu pernah berjanji pada umi Izzu waktu kami baru menikah dulu, bahwa jika anak kita berbeda jenis kelamin, akan kita jodohkan, dan ibu rasa.... tidak salah jika janji itu kami wujudkan saat ini." Mata ibu Naya semakin besah tak terkendali.

"Ibu tidak tahu bagaimana caranya, tapi.... ibu ingin lihat anak ibu bahagia walau hanya sebentar. Jadi... bisakah kamu... bisakah kamu mewujudkan harapan ibu ini, Nak?" Sang bunda mengangkat dagu anaknya dan menatap si gadis dengan tatapan memohon.

ZuNayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang