Keping 40 : Janji Sang Suami

1.4K 164 15
                                    

awas kalo ambyar lho ya

happy reading

........................

Mereka berdua shalat Isya berjamaah usai berdebat tentang Naya yang tak mau salaman lagi sehabis shalat.

Izzu adalah lelaki paling pengertian yang pernah dara bermata jeli itu punya. Demi tak menimbulkan perang dingin walau sempat si tampan bersikeras Naya harus bersalaman dengannya, Izzu akhirnya mengalah. Perdebatan ditutup dengan kemenangan mutlak milik Naya : tak ada salaman selepas shalat nanti.

Usai shalat, Izzu benar-benar tak membalik tubuhnya ke belakang. Tak mengulurkan tangan, juga tak menatap Naya. Keadaan ini antara ngambek atau mematuhi kesepakatan, sungguh hanya Izzu dan hatinya yang tahu.

Tapi Naya merasa sedikit tak enak. Apalagi setelah mengetahui si ustad tampan tak menatapnya, ada yang nyesek rasanya di dalam usus. Naya menyesal menolak untuk salaman. Yaa mau bagaimana lagi, nasi telah menjadi lontong, dijual diperempatan dengan harga miring.

Izzu memang tak membalik tubuhnya, ia langsung berdiri selepas berdo'a, melipat sajadahnya dan menuju sofa, duduk di sana sambil memegang mushafnya, hendak mengaji.

Naya yang merasa bahwa si ustad memang berniat untuk mengacuhkannya tak punya pilihan lain selain mengangkat sajadah dan juga berdiri, membalik badan hendak menuju lantai atas, masuk kamar.

Tapi belum genap langkah Naya menjauh, suara Izzu menghentikan dara itu, "Mau kemana, Nay? Sini dulu, kita ngaji bareng."

Mendengar suara si tampan, Naya sebenarnya senang, sangat senang malah, ternyata si ustad tak ngambek karena ditolak salaman, tapi Naya adalah Naya, memasang wajah ogah-ogahan selalu menjadi keahliannya, "Nggak mau, ngaji aja sendiri. Gue mau tidur."

"Dulu kamu pernah bilang ingin lihat aku mengaji." Izzu merespon cepat, "Malam ini aku akan kabulkan keinginanmu itu."

"Nggak usah, gue nggak mau buat lo kelihatan ria, Tad." Naya membalas tak kalah cepat. Mengembalikan kata-kata Izzu yang dulu pernah membuatnya jleb, lalu melakukan penolakan dengan alasan klise, "Lagian gue udah ngantuk."

"Sini dulu, satu halaman pun jadi." Izzu masih berusaha mengajak si cantik duduk disampingnya. Tak peduli dengan rasa enggan Naya.

Naya hening sejenak, lalu mencoba melakukan penawaran, "Kalau gue duduk disana, dengerin lo ngaji, gue dapat apa?"

"Seluruh cinta dan hidupku." Izzu menimpali.

Ow! Naya tak bergeming. Ia mematung sambil menahan senyum, lalu menuju tempat Izzu duduk dan berceletuk datar, "Awas kalau nggak lo kasi."

"Pasti." Izzu mengangguk pelan.

Naya mengangsur langkah kakinya, tapi tak memilih duduk satu sofa dengan Izzu. Ia merasa terlalu malu.

Izzu yang melihat langkah kaki Naya malah menuju sofa diseberangnya, langsung memotong jalan si gadis dengan kata-kata yang tak disangka Naya akan keluar dari mulut si ustad, "Duduknya di sampingku, bukan disitu. Kalau kamu memilih untuk duduk disitu, maka malam ini aku akan tidur di kamarmu."

"What?" Naya memutar wajahnya sambil membelalak ngerih, "Apa lo bilang barusan, Tad?"

"Kalau kamu duduk disitu, malam ini aku tidur di kamarmu." Izzu mengulangi kalimatnya.

"Terus kalau gue duduk disamping lo?" Naya bertanya polos.

"Kita tidur di kamar masing-masing." Izzu berkata sambil mengode Naya dengan jemarinya untuk datang mendekat.

Demi tetap bisa mempertahankan harga dirinya untuk tak satu kamar dengan si ustad, terpaksalah Naya berjalan menghampiri Izzu, duduk disebelahnya, dengan jarak yang cukup besar.

ZuNayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang