64 : dua kenyataan

1K 61 0
                                    

Seorang pria jangkung itu menutup pintu mobilnya. Memakai celana jeans di lengkapi kaus putih polos yang dibaluti jaket dengan warna senada. Dan tak lupa dengan topi putih yang menutupi kepalanya.

Ia berjalan santai memasuki cafe, tempat ia akan mengadakan janji. Perlahan pria itu membuka pintu kafe sampai terdengar bunyi lonceng dari atas pintu. Beberapa pasang mata menatapnya kagum, walau tidak terlihat dengan jelas wajahnya tetapi orang bisa menilai kalau pria ini sungguh tampan.

" Woi! Sini bro! " teriak seseorang dari meja yang terletak di ujung. Pria itu mengangguk dan berjalan santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Wajahnya dingin, tak berekspresi.

" Parah! Parah! Parah! Pulang dari negeri orang lo jadi berubah ya? " tanya salah satu di antara mereka.

Di meja itu, terdapat tiga orang pria berusia kisaran dua puluh delapanan. Tetapi masih nampak seperti anak remaja.

" Ya dia mengikuti gaya di sana lah, kebawa deh sampai sini, " ucap yang lainnya.

Sampai seseorang waitress datang menghampiri.

" Ingin pesan apa? " tanyanya sembari memperlihatkan buku menu.

" Satu caffe latte. "

" Satu Chocolate milkshake. "

" Satu ice tea. "

" Saya ulangi, satu caffe latte, satu chocolate milkshake, satu ice tea. Apakah ada lagi? " tanya waitress itu.

" Tidak, makasih. "

" Baiklah, mohon di tunggu, " ucapnya lalu pergi.

" Jadi gimana? Enak enggak di New York? " tanya pria bermata sipit itu.

" Enak. "

" Banyak cewek-cewek seksi kan? Jangan-jangan lo tergoda lagi, Ga. "

" Iya, lumayan, " jawab pria bertopi itu—Arga.

" Parah lo! Cintailah yang lokal, Ga. Jangan bule, gue enggak setuju, " timpal Mamat.

" Gue sih enggak masalah Arga sama bule. Memperbaiki keturunan, " sahut Dio.

Kemudian datang waitress tadi menghantarkan pesanan. Sesekali wanita itu tersenyum ke arah mereka.

" Enggak perlu, lo liat modelan kayak Arga udah cakep dari janin. Anaknya pasti cakep lah, " ucap Mamat.

" Enggak penting, " ucap Arga sembari menyeruput caffe latte nya.

" Ya emang enggak penting. Yang penting adalah, kenapa lo lama benar di New York? Lo udah tiga tahun kuliah di Indonesia cuy, terus pergi ke New York hampir tujuh tahun! Itu lo kuliah sampai sarjana berapa hah?! " tanya Dio sedikit kesal.

" Gue belajar bisnis, Papa juga punya bisnis di sana, " jawab Arga.

" Gue denger lo mau bangun perusahaan ya? " tanya Mamat diangguki Arga.

" Iya, di Indonesia sih. Tapi gue lagi nyari arsitek berkelas, " ucap Arga, seketika membuat Dio dan Mamat terdiam.

" Kalian gimana? Kerjaan kalian? " tanya Arga.

" Gue ya biasa lah, nerusin perusahaan keluarga. Kan gue anak satu-satunya, " ucap Dio.

" CEO? " tanya Arga diangguki Dio.

" Lo, Mat? " tanya Arga.

" Gue Manager di kantor Dio. Lumayan lah ngumpul duit buat nikahin Dinda, " ucap Mamat cengengesan.

ALYA [ COMPLETE ] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang