Nggak Mungkin

876 103 24
                                    

Dunia ini keras bahkan untuk orang-orang yang kuat.


Ada saatnya seseorang menjadi lemah. Tetapi itu bukan alasan untuk dirinya terus lemah. Tekadang, kuat adalah pilihan akhir agar seseorang tetap dapat bertahan di dunia yang keras ini.

Dunia yang mengajarkan padanya bahwa menangis sesekali itu wajar namun tidak setiap saat. Kehidupan yang menjadi guru baginya bahwa beristirahat itu normal, namun tidak untuk menyerah.

Sekarang, jika dunia tak lagi memihak padanya dan kehidupan tidak lagi jelas untuknya. Lalu apa yang harus ia lakukan?

Apa pun itu, ya! Apa pun itu kecuali menyerah.

"Kondisi pasien semakin memburuk. Ada penggumpalan darah di kepala, akibat benturan yang sangat keras".

Firman mengusap wajahnya kasar. Ia bingung apa yang harus ia ucapkan untuk menenangkan seorang pria paruh baya di sampingnya.

"Kami bersama tim akan melakukan yang terbaik!"

Firman mengagguk pelan "terima kasih dok!"

Setelah dokter kembali masuk sekilas Firman melirik dari ekor matanya betapa sendunya wajah pria di sampingnya. Ia tak tahu rasanya ada di posisi itu. Tapi ia tahu rasanya kita tidak bisa berbuat apa pun untuk mencegah seseorang yang kita sayangi pergi.

Hancur, patah, dan merasa tak berarti.

"Kenapa?"

Firman berpaling kearah sumber suara.

"Kenapa Ella bisa--" suaranya tercekat di tenggorokan "begini?" jari jemarinya yang mulai keriput menyentuh jendela kaca pembatas yang memisahkannya dengan ponakannya.

"Itu," jujur laki-laki itu tidak tahu apa yang harus ia ungkapkan. Hatinya ingin berkata jujur namun ia telah berjanji pada gadis kecil di sana agar tidak mengatakan apa pun yang akan membuat pakdenya lebih menyesal.

"Orang yang menelpon saya mengatakan--Adhisty menjadi korban tabrak lari" suhu ruangan terasa naik membuat Firman merasakan satu bulir keringat menetes dari keningnya "kebetulan sekali saya sedang menghubungi Adhisty, jadi saya langsung datang ke lokasi".

"Semua ini salah saya. Seandainya," suaranya bergetar hebat "Saya nggak pantas dimaafkan" tubuh pria itu meluruh ke lantai. Rasanya tak sanggup melihat Ellanya yang biasanya tersenyum di hadapannya kini hanya terbaring tak berdaya.

Firman terenyuh di tempat. Sepatah itukah hati seorang ayah yang melihat putrinya terluka? Meskipun orang ini bukan ayah biologis bagi Adhisty namun dia orang yang paling sayang dengan gadis itu.

Suara gesekan sepatu dengan lantai menggema di lorong rumah sakit.

"Bang, Adhis--" ucapannya terhenti saat melihat pakdenya Adhisty menangis sambil bersandar di dinding kaca.

Perasaan apa sebenarnya ini, Raja yakin ia membenci gadis itu, membenci senyumnya, membenci tawanya, membenci semua hal tentangnya. Ada apa dengan dirinya saat ini? Mengapa jantungnya berdentum keras hanya karena mendengar gadis yang di bencinya ini tidak baik-baik saja. Mengapa ia berlari kesini? Ada apa dengan dadanya yang berdesir kacau?.

"Bang" sial mengapa suaranya bergetar! dengan susah payah ia menelan salivanya kasar "dia--" tubuhnya melemah menatap seseorang dengan banyaknya selang yang terhubung ke tubuhnya.

"Bego! Kenapa malah tidur? Lo nggak inget hari ini gua tanding?" ntah lah kali ini ia tidak peduli, Raja tidak peduli apa pandangan orang tentangnya, yang pasti hatinya sakit. Dan ia tak mau menyangkalnya "Gua udah nyiapin gombalan maut dari semalem. Yakin Lo nggak mau denger?" Raja terkekeh miris " ck, kepala batu! Bangun Dhis! Gua bilang bangun! Dhiis! Adisty Flagella!"

Firman mendekap Raja yang terus memukuli dinding kaca ruangan ICU "Ini rumah sakit tolol!" geram Firman masih dengan menahan tubuh adiknya.

"Brengsek! Brengsek! Brengsek!" Raja menonjok pilar yang ada di dekatnya berkali-kali. Kali ini ia hancur meski ia tak tahu mengapa, tapi ia tidak baik-baik saja melihat gadis itu terbaring di sana.

Suasana haru semakin kental terasa saat beberapa anggota OSIS dan teman-teman terdekat Adhisty hadir. Termasuk Fikran, Aulia dan Reza. Untuk Fikran dirinya tetap diam menatap kedua orang yang sangat ia hafal. Raja dengan wajah hancurnya dan pakde dengan keputusasaan.

Fikran tersenyum simpul. Hebat Lo Dhis, sekarang kita liat Lo bisa buat gua sekacau apa. Racaunya dalam hati. Langkah kecil laki-laki itu diiringi tangis para teman-temannya. Dadanya berdenyut nyeri saat manik hitamnya jatuh pada seorang gadis yang terbaring di brangkar sana.

"Lo tau Dhis. Seberapa jantung gua berdetak hebat waktu kulit kita bersentuhan?" tangan lagi-laki itu mengusap tepat pada kaca di hadapannya "lo tau sekacau apa gua waktu kita hanya berjarak beberapa centi?" Fikran menghela napas kasar "lo tau sebenci apa gua waktu liat Lo jalan berdampingan sama cowok lain? Lo yang mengacaukan dunia gua, jujur gua nggak pernah mampu membenci Lo sedetik pun!" Fikran memejamkan matanya erat merasakan setiap degup jantung yang mencoba mendobrak keluar "persetan dengan sikap gua selama ini. Gua sayang sama Lo Dhis,".

Seorang gadis yang sedari tadi berdiri di samping Fikran menekan dadanya pelan. Miris sekali bukan, bahkan di saat gadis itu sudah tidak dapat menghinanya lagi pun. Ia masih mampu menyakiti hati Aulia.

"Lo hebat Dhis! Mungkin gua jahat, tapi gua berharap lo lebih baik pergi. Maaf tapi gue nggak rela kehilangan Fikran. Gue mohon sama lo-- jangan bangun!" guman gadis itu pelan sebelum pergi menjauh. Ia harus menenangkan hatinya yang sakit karena ucapan Fikran tadi.

Sedangkan laki-laki yang ditinggalkannya kini beringsut kelantai. Ia menyandarkan dirinya pada diding kaca, matanya elangnya menyusuri sekitarnya, semuanya menangis. Hanya dirinya yang tidak. Bibirnya menyunggingkan senyum miris, manik hitamnya kini menyorot atap rumah sakit yang serba putih.

Dirinya tersenyum kecil "Lo mau tau Dhis. Hati gua bilang itu bukan lo...".



Percayalah masa yang akan datang itu adalah sebuah misteri. Oh ya makasih banget bagi yang selalu nunngu DGPR up. Kali ini langsung doubel up. Yang merasa makin penasaran boleh komen disini👉 yang berasa cerita makin gaje juga boleh komen disini wkwkw.

Don't forget vote and comen't guuyyys.

Dan Gue Punya Rasa [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang