Bagian 65

301 24 13
                                    

Hancur. Hanya itu kata yang mungkin bisa menggambarkan kondisinya saat ini. Sakit, sesak semua begitu terasa didalam rongga dadanya. Bahkan bisa dikatakan, ini adalah momen terburuk yang ia alami sepanjang ia hidup didunia.

Bagaimana mungkin ia bisa bodoh seperti ini? Kenapa ia bisa menyakiti seseorang yang bahkan tidak salah sedikit pun? Kenapa ia harus menghancurkan perasaan seorang gadis yang begitu mencintainya? Kenapa ia harus meragukan perasaannya sendiri padahal semua sudah begitu jelas?

Matanya memerah marah, meratapi kebodohannya selama ini. Sementara tangannya memacu motor yang ia bawa untuk melaju secepat mungkin. Ia tidak ingin membuang banyak waktu lagi, ia tidak ingin terlambat kali ini.

Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan nanti, apa yang akan ia jelaskan nanti, tapi yang jelas ia ingin gadis itu memaafkan kesalahannya. Dan jika masih pantas, ia menginginkan satu kesempatan lagi. Kesempatan untuk membuat semuanya seperti yang seharusnya terjadi.

Bukan seperti ini.

Ia memarkirkan motornya asal kemudian berlari menuju pintu. Tangan bergetarnya perlahan mengetuk pintu dihadapannya. Rasa sesak semakin memenuhi rongga dadanya.

Kenapa rasanya sesakit ini? Lalu sesakit apa yang gadis itu rasakan karenanya? Apa ia pantas mendapatkan kesempatan itu lagi? Bahkan apakah ia pantas untuk dimaafkan?

Sungguh jika ia yang berada di posisi Aeera sekarang, ia yakin tidak akan ada lagi maaf untuknya. Tapi ia tidak boleh menyerah, bahkan jika ia harus bersujud dikaki Aeera agar mendapatkan maaf darinya, ia akan melakukannya.

Sungguh apapun itu ia akan melakukannya.

"Ra?" Suara bergetarnya kini berhasil terucap. Rasa sakitnya menjadi sangat luar biasa sekarang.

"Ra ini aku, buka pintunya Ra," Arka menambah kecepatan ketukannya. Rasa cemas semakin meyelimuti dirinya karena pintu belum juga terbuka. Apa gadis itu sudah membencinya? Apa ia sudah tidak ingin menemuinya lagi?

Tidak! Itu tidak boleh terjadi! Aeera tidak mungkin membencinya!

"Ra aku mohon buka pintunya, aku-"

"Loh Arka? Arka ya? Cari Aeera? Mau jemput kan? Kok telat banget sih? Kasian Ara jadinya berangkat sendiri."

Arka menatap seorang wanita yang kini menghampirinya. Seingatnya wanita dihadapannya ini adalah ibu dari Rimba, bukankah begitu? Atau- ah sudahlah itu tidak penting. Yang terpenting sekarang adalah Aeera.

"Berangkat? Aeera pergi kemana?" Alis Arka bersatu, tidak mengerti dengan apa yang Via katakan. Lagipula kemana gadis itu pergi malam-malam seperti ini? Kenapa rasa khawatirnya semakin membesar?

Belum sempat menjawab, sebuah mobil yang barusaja memasuki halaman lebih dulu menarik perhatian keduanya. Rimba keluar dari mobil dalam keadaan yang tidak kalah buruknya dengan Arka. Ditambah Gwen yang menangis tersedu-sedu.

"Ra!" Panggil Rimba tanpa melihat keadaan. Tangannya sibuk mengetuk dan berusaha membuka pintu yang terkunci itu.

"Aeera pergi kemana tante?" Ulang Arka. Ia tidak punya banyak waktu sekarang.

"Pergi?!" Rimba membalik tubuhnya spontan menatap Via dan Arka bergantian.

"Ara kemana bun?!" Nada bicara Rimba sedikit naik. Jantungnya berpacu cepat. Jangan tanyakan lagi sebesar apa rasa khawatirnya sekarang.

"Aeera kemana tante?" tanya Gwen tak lama setelah Rimba menyelesaikan perkataanya.

Via menatap ketiganya bingung. "Loh kok malah pada nanyain Aeera dimana, emang kalian gak ketemu?"

ArkaeeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang