Katanya sudah dewasa, tapi pikirannya tak leluasa.
* * *
Rooftop rumah sakit adalah tempat terepik bagi mereka berdua. Semilir angin malam membelai permukaan wajah sepasang manusia yang sedang menyaksikan hiruk pikuk ibu kota yang tak pernah mati.
“Smara siapa? Anak kamu?” Zira lagi-lagi bertanya dengan tatapan dingin.
“Kamu ingat apa aja yang pernah terjadi di sini?” tanya balik Melvin.
“Jangan ngebelokin topik. Aku tanya, siapa Smara?” Zira menatap jengkel pria di sampingnya, Melvin tadi berkata akan menjelaskan semuanya di rooftop, tapi saat sudah bereada di sana, pria itu malah membelokkan topik.
“Kamu bakal tau siapa Smara kalau kamu ingat apa yang pernah terjadi di sini.”
Zira langsung menoleh ke Melvin. “Banyak yang pernah terjadi di sini. Bisa jadi aku udah lupa.”
“Sebut apa aja yang masih kamu ingat.” Melvin menatap manik mata Zira, ada kegelisahan yang tersirat di matanya.
Zira memiringkan kepalanya sambil membuka memori masa lalu. “Yang aku ingat ….” Zira kesusahan mengingat, mungkin ia ingat apa saja yang pernah terjadi di rooftop, tapi ia ragu kejadian itu terjadi di rooftop rumah sakit ini atau di rooftop tempat lain.
“Kamu pernah ngajak aku naik helikopter, aku gak tau itu kejadiannya di rooftop sini atau mungkin di rooftop lain,” ujar Zira setelah mengingat-ingat.
“Selain itu?”
Zira menggeleng pelan, hanya kejadian yang menurutnya indah yang melekat di ingatannya.
“Kamu ingat tiga belas tahun yang lalu aku pulang tugas dari Beirut?” Jantung Melvin berdebar kencang saat menanyakan hal itu.
Sejenak, suasana sekitar menjadi senggang. Zira diam dengan pikirannya yang dipaksa bekerja, sorot tatapan dinginnya mengarah ke Melvin, membuat jantung pria itu semakin berdebar. Takut Zira akan mengingat sosok Alya dan bayi yang pernah ia gendong dulu dan berujung Zira akan mengetahui semuanya.
Raut wajah Zira berubah drastis, ia tersenyum. “Ingat. Waktu itu kamu landing dari Beirut di rooftop rumah sakit ini, kan? Kamu juga ngelamar aku di rumah sakit ini, kan?”
Jantung Melvin mencelos saat ingatan itu yang muncul di ingatan wanita cantik di hadapannya. Melvin semakin kesulitan mengungkap semuanya.
“Ya.” Melvin mengangguk pelan. “Selain –“
“Tapi aku gak suka kamu ngeprank aku dulu baru ngelamar.” Zira memotong perkataan Melvin, kedua sudut bibirnya masih terangkat mengingat masa itu.
Melvin tersenyum kecut, apa Zira lupa dengan Alya dan bayi mungil yang dulu pernah membuat wanita itu nangis sesak?
“Mungkin cuma itu yang masih aku ingat. Terus hubungannya sama Smara?” Zira mengembalikan topik ke semula.
Melvin diam sebentar dan bertanya, “Kamu ingat aku pulang dari Beirut sama siapa?”
Zira berdecak pelan, lagi-lagi ia harus berpikir. “Kamu pulang sama … para korban.” Zira langsung mendongak menatap manik Melvin dengan terkejut. “Udah lah, Mel aku jadi keinget mendiang Om Hendra,” katanya mengingat Hendra yang menghembuskan napas terakhir di rumah sakit ini saat pulang dari Beirut bersama korban pesawat lainnya.
Melvin menahan napas, ia kira Zira akan sadar. Semakin lama, semakin ia kehabisan kata untuk menjelaskan semuanya.
“Kita pulang aja, Ra. Besok aku harus berangkat tugas.” Lagi, Melvin rasa ini bukan waktu yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hapless
Ficção AdolescenteKomitmen adalah landasan penting yang harus dimiliki pasangan dalam menjalin hubungan. Bagi Smara hidup orang dewasa itu rumit dan banyak drama. Komitmen bukan landasan orang tuanya untuk menjalin hubungan, tapi kesalahan yang menjadi landasan mere...